Ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar sekitar tahun 1990, saya masih ingat sekali bagaimana suasana sahur di kampung halaman di Bandung Utara. Namanya di kampung, saat itu suasana subuh dini hari benar-benar sepi. Bahkan kadang-kadang setiap pagi masih diselimuti oleh kabut tebal dengan udara yang menusuk-nusuk kulit.
Namanya di kampung, tidak ada pemuda yang rajin keliling kampung dengan membawa obor sambil membangunkan sahur seperti di kampung lainnya. Tak mungkin dilakukan, karena medan jalan di kampung sangat terjal, berkelok-kelok dan minim penerangan. Belum lagi banyak sekali hutan bambu yang menambah suasana kampung makin mencekam saat gelap.
Baca "Sahur on The Road" Berujung Tawuran, Siapa yang Diuntungkan?
Jadi, jangan bayangkan seperti di Jakarta masa kini. Anak-anak tanggung naik mobil pick up dengan membawa bedug sambil berteriak-teriak, berdendang dan memukul-mukul aneka perkusi untuk membangunkan orang sahur selama Ramadan.
Di kampung kami saat itu tidak seperti itu. Namun, salah satu yang memang masih membekas di dalam ingatan saya adalah sosok tokoh masyarakat yang selalu rajin bangun dini hari mengingatkan untuk sahur berkali-kali.
Namanya adalah H. Rukmaya atau populer dipanggil dengan uak Haji. Uak Haji termasuk orang yang paling konsisten setiap tahun membangunkan seisi kampung dengan menggunakan toa dari rumahnya.
Iya, dia memasang sendiri toa di rumahnya demi membangungkan masyarakat satu kampung. Kebetulan uak Haji juga seorang DKM masjid yang sangat rajin salat berjamaah.
Kadang-kadang sekali waktu, utamanya saat liburan, uak Haji seringkali memborong semua tugas mabut masjid sampai menjadi imam. Tak jarang juga sekaligus makmum. Kampung kami memang unik hehehe.
"Sahuuurrrr...Sahuurrrrr..Sahuuurrrr"
Begitulah jika uak Haji sudah beraksi membangunkan warga melalui pengeras suara. Di saat kami belum memiliki televisi yang kadang dijadikan pengingat waktu imsak dan waktu salat subuh, uak Haji menjadi pahlawan bagi kampung kami.
Baca Kisah Kue Nastar yang Habis Sebelum Lebaran Tiba