Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ini Alasan Mengapa Saya Beralih ke Pertamax

29 Oktober 2017   15:44 Diperbarui: 29 Oktober 2017   16:29 4164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: teropongsenayan.com

Tetangga saya Bang Jamal punya kebiasaan unik. Setiap pagi setelah shalat subuh biasanya dia langsung menghidupkan motornya dan langsung ke pom bensin terdekat. Jaraknya sangat dekat, tidak sampai satu Km. Padahal dia selalu berangkat kerja bareng sama saya, sekitar jam setengah enam baru keluar rumah.

Awalnya saya biasa saja. Tapi, lama kelamaan jadi penasaran kenapa kebiasaan itu dia lakukan. Akhirnya saat ada kesempatan bertanya, saya pun iseng-iseng sambil basa-basi bertanya tentang kebiasaan uniknya itu.

"Bang, kalau saya perhatiin, abang ini kan tiap pagi selalu isi bensin ke pom nih. Nah, kenapa harus jadi kebiasaan jadi pagi-pagi terus?" tutur saya sambil duduk di teras rumah.

"Oh itu, ah enggak, Bang. Motor saya kan udah tua nih. Honda tahun 97. Kebetulan saya masih pakai Premium. Jadi, yang saya baca nih di internet. Premium terbaik itu saat masih pagi. Katanya kadar gasnya lebih sedikit dibandingkan kalau beli saat siang hari. Apalagi sekarang ngantre Premium itu panjang, Bang, jadi daripada saya terlambat kerja, mendingan saya beli duluan pagi-pagi saat orang lain belum antre," jelas Bang Jamal.

Wah, akhirnya saya paham kenapa Bang Jamal punya kebiasaan unik seperti itu. Bener juga sih kalau sekarang antre di jalur Premium itu malah lebih panjang dibandingkan antrean Pertalite dan Pertamax. Saya sendiri udah jarang banget pakai Premium. Soalnya motor saya udah injeksi, kalau pakai Premium jalannya suka ngedet-ngedet, yah endut-endutan gitu deh.

Gara-gara males antre juga kadang-kadang saya beli bebas aja. Mana yang gak ada antrean biasanya saya beli. Ya kalau kira-kira antrean dikit sih saya pilih Pertalite. Lumayan kan RON-nya cuma beda tipis sama Pertamax. RON Pertalite sih 90, kalau Pertamax 92. Kalau lagi padet-padetnya ya terpaksa saya beli Pertamax Turbo. Dulu sih masih ada Pertamax Plus, cuma mungkin karena angka RON-nya terpaut dekat akhirnya Pertamax Plus diganti sama Pertamax Turbo.

Kebetulan saya baca di beberapa blog otomotif kalau motor saya, Vario 125 eSP ini gak boleh minum Premium, udah haram hukumnya. Soalnya bisa mengganggu kinerja mesin. Lagipula kompresi mesinnya sudah 11:1 yang disarankan menggunakan bahan bakar dengan RON 92 ke atas.

Nah, kalau pakai Premium dari kompresi mesin aja dah gak cocok. Premium itu kan khusus mesin yang kompresinya masih 7-9:1, sedangkan kalau mau pakai Pertalite biasanya lebih cocok untuk mesin yang kompresinya 9-10:1. Kalau masih pakai karburator oke lah pakai Premium, tapi kalau udah pakai injeksi kayaknya percuma aja pakai Premium. Soalnya tenaga jadi loyo dan malahan jadi boros bahan bakar.

Oh ya, dulu saya sempet juga lakukan uji coba pengukuran penggunaan Pertalite dan Pertamax. Hasilnya emang jauh lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan Premium. Terutama untuk motor injeksi yang kompresi mesinnya sekelas dengan Vario.

Gara-gara bahasan Premium dan Pertamax itulah saya jadi iseng-iseng nanya sama teman-teman saya di twitter. Saya bikin survey sederhana dengan pilhan ganda.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Dan ternyata lumayan juga ada yang jawab meskipun gak ada hadiahnya hehehe. Temen-temen rata-rata sekarang udah meninggalkan Premium. Waktu saya tanya apa alasannya enggak pakai Premium lagi, ternyata jawabannya hampir sama dengan alasan saya.

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Kalau untuk motor yang injeksi, rata-rata penggunanya udah sadar kalau motornya butuh bahan bakar dengan RON 92 dan di atasnya. Sedangkan mobil, mungkin karena alasan kantong rata-rata masih memilih Pertalite dibandingkan Pertamax yang harganya sedikit lebih mahal.

Wajar sih, artinya Pertamina cerdas dan menangkap isu Premix. Iya, dulu sempat ada isu Premix yang bakal dihidupkan lagi tapi ternyata malah muncul Pertalite. Kalau kata temen sih sebetulnya sama aja, katanya Premix ini campuran antara Premium dengan Pertamax jadinya Premix hehehe.

Kalau dilihat dari jawabannya sih memang soal harga masih masuk ke Pertalite. Harga Pertalite saat ini kisaran Rp 7.400, sementara harga Pertamax di kisaran harga Rp 8.150. Cuma beda 750 perak aja sih. Ya, tapi setiap orang saya pikir punya alasan masing-masing menggunakan Pertalite ataupun Pertamax.

Oh ya, alasan lain untuk pindah ke Pertamax sih selain lebih powerful dan bikin mesin lebih awet saya harus sadar diri. Soalnya Premium itu kan bahan bakar subsidi. Namanya bahan bakar subsidi ya untuk orang-orang yang memang layak disubsidi.

Ngomong-ngomong soal subsdi, dulu saya pernah ikut ke Situbondo sama Pertamina. Melihat langsung kapal VLGC yang mengangkut gas. Kapal tanker inilah yang menjaga pasokan gas melon di daerah Indonesia Timur.

Nah, ternyata Pertamina udah punya kriteria orang-orang yang seharusnya tidak lagi menikmati gas bersubsidi. Mirip-miriplah sama kayak Premium.

Kurang lebih kriterianya seperti ini;

  • Memiliki hape satu jutaan ke atas
  • Memiliki AC di rumahnya
  • Memiliki Kulkas
  • Memiliki TV LCD/LED

Nah, jujur sih kalau soal TV kebetulan saya gak punya hehehe. Soalnya sudah tak ganti jadi langganan internet unlimited dengan bayaran per bulan. Udah mirip lah kayak TV kabel. Apalagi saya udah jarang banget nonton TV.

Dari kriteria itu sebetulnya udah jelas sih, mana golongan yang berhak mendapatkan subsidi dan mana golongan yang sudah saatnya beralih ke barang-barang non subsidi. Apalagi sekarang pemerintah lagi menggalakan BBM satu harga hingga ke Papua.

Ya, bayangin aja harga semen di Papua bisa sampai Rp 1 juta. Sedangkan harga di Jakarta satu sak semen cuma Rp 60 ribu. Jomplang banget kan?

Buat saya sih beda seperak dua perak di Papua itu berarti banget. Saya jadi inget waktu ke Raja Ampat beli pecel lele aja Rp 25 ribu. Abis itu lelenya kecil beud. Kayaknya sih saya salah beli hahaha. Mungkin malah lebih murah ikan laut daripada lele. Kasian lelenya berenang kejauhan ke Papua, ongkosnya mahal.

 Nah, dari kedua alasan itu sih kayaknya yang membuat saya beralih ke Pertamax. Saya pengen juga membantu pemerintah mewujudkan BBM satu harga. Cara sederhana yang bisa saya lakukan ya tidak menggunakan BBM bersubsidi. Biar bisa subsidi silang gitu deh ceritanya.

https://dzulfikaralala.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun