Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Memanen Biogas dari Limbah Rumah Tangga untuk Hadapi Kelangkaan Gas 2019 di Jawa Barat

6 Oktober 2017   22:20 Diperbarui: 7 Oktober 2017   21:48 4395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pipa untuk menyalurkan biogas ke tempat penampungan (dok.pribadi)

Lebaran lalu saya benar-benar kesulitan sekali membeli gas di daerah Bandung, Jawa Barat. Meskipun stocknya ada, itupun ternyata sudah ada yang booking. Jadi, warung-warung yang menjual gas tidak akan memberikan pada pembeli yang bukan menjadi pelanggan tetapnya. Sungguh tega memang!

Tapi mau bagaimana lagi. Tanpa gas, kami tak bisa masak. Jika kami tak bisa masak artinya kami tidak bisa makan. Mau tak mau akhirnya memang saya jadi keliling kota Bandung sampai menemukan gas yang tersisa. Ibarat melamar pekerjaan di saat sulit, hampir semua warung saya ketuk demi mendapatkan secuil gas. 

Kondisi tersebut memang akhirnya membuat keluarga saya di Bandung serba sulit ketika gas habis. Entah bagimana jadinya nanti jika Jawa Barat akan kekurangan gas pada tahun 2019.

Meskipun begitu sepertinya masih ada secercah harapan. Kondisi kesulitan mendapatkan gas di Bandung membuat saya jadi teringat dengan digester di rumah saudara saya di Kelurahan Palasari Kecamatan Cibiru Kota Bandung, Jawa Barat.

Ibu saya bercerita bahwa daerah ini termasuk kawasan inspiratif dan pernah beberapa kali mendapatkan penghargaan karena kebersihannya. Manajemen sampah dan limbah rumah tangga sudah berjalan cukup efektif di kawasan Cibiru sehingga rasanya amat jarang sekali melihat sampah-sampah berserakan di jalanan.

Melihat kondisi lingkungan yang bersih di tempat ini saya jadi ingat cerita teman saya yang pernah mukim di Jepang. Kebiasaan orang Jepang itu terlihat berbeda dengan di Indonesia saat memilah sampah. Dan itulah yang juga dilakukan oleh warga setempat hingga saat ini.

Berkat prestasi itulah Pemkot Bandung menghadiahkan sebuah digester kepada warga. Masih menurut cerita ibu saya, saat itu tidak ada satupun warga yang mau menerima karena belum mengetahui betul manfaatnya. Apalagi harus menyediakan sepetak tanah untuk kolam digesternya.

Akhirnya saudara saya yang bersedia menerima hibah tersebut dan menyediakan sebidang tanah di belakang rumahnya. Kolam digester ini kira kira luasnya sekitar delapan meter persegi dengan kedalaman sekitar antara 60 cm hingga 1 meter. Secara fisik tidak jauh berbeda dengan kolam penampungan air biasa.

Pipa untuk menyalurkan biogas ke tempat penampungan (dok.pribadi)
Pipa untuk menyalurkan biogas ke tempat penampungan (dok.pribadi)
Yang membedakan memang terdapat sebuah regulator dan pipa-pipa untuk mengalirkan gas ke tempat penampungan. Oh ya, saya dibantu oleh Abdurrahman. Suami dari saudara saya. Ia menjelaskan dengan detail dari proses hulu hingga ke hilir. Abdurrahman begitu bersemangat menceritakan prosesnya hingga mempraktikkannya agar saya bisa mengetahuinya dengan jelas.

Jadi, di rumah Abdurrahman memang sudah disediakan ember khusus berisi sepertiga air. Ember tersebut ternyata memang ditempatkan khusus untuk limbah organik atau sampah organik seperti bekas sayur-sayuran, bekas kulit buah atau sampah organik lain yang bisa terurai dalam tanah.

Sampah organik itulah yang akan menjadi bahan bakar untuk menghasilkan biogas. Sampah tersebut kemudian di masukkan ke dalam lubang di atas digester. Cara memasukkannya juga sangat unik karena Abdurrahman memerlukan sebuah tongkat dengan pendorong di ujungnnya.

Nah, ternyata perawatan digester ini harus terus menerus dilakukan pengecekan setiap 2 hari sekali untuk mengaduk sampah dan mendorong sampah sehingga melalui proses pembusukan.

Sampah-sampah organik yang dimasukkan ke dalam digester biasanya dicacah terlebih dahulu oleh Abdurrahman agar ukurannya tidak terlalu besar dan bisa muat, masuk ke dalam corong digester.

Sesederhana itu. Abdurahman sekeluarga kini sudah bisa menikmati biogas gratis dari sampah organik rumah tangganya sendiri.

Box tempat menampung biogas dengan indikator gelembung (dok.pribadi)
Box tempat menampung biogas dengan indikator gelembung (dok.pribadi)
Untuk soal keamanan Abdurrahman tidak khawatir karena penampungan bio gas ini sudah dipastikan aman asal dijauhkan dari sumber api. Begitu juga penampungan biogas yang sudah dipasang indikator gelembung sehingga jika biogas kepenuhan indikator air akan mudah dideteksi dan dilakukan penyetopan aliran biogas ke tempat penampungan.

Biogas penuh atau berkurang bisa dilihat dari indikator yang nampak (dok.pribadi)
Biogas penuh atau berkurang bisa dilihat dari indikator yang nampak (dok.pribadi)
Indikatornya pun sangat sederhana sekali. Di dalam kotak penampungan ternyata memiliki lapisan dalam. Lapisan bening inilah yang menunjukkan biogas penuh atau kosong. Jika biogas penuh makan plastik bening di dalamnya akan ikut naik, sebaliknya jika biogas kosong plastik bening penampungan ini akan turun.

Keran untuk mengalirkan biogas ke kompor dibantu dengan pompa udara (dok.pribadi)
Keran untuk mengalirkan biogas ke kompor dibantu dengan pompa udara (dok.pribadi)
Agar pasokan ke dalam kompor biogas lancar ternyata masih dibutuhakan sebuah blower untuk membantu mendorong biogas. Sebetulnya jika tidak menggunakan blower pun masih bisa tapi api yang dihasilakan tidak bisa disetel besar kecilnya.

Biogas berlimpah tiap hari mandi pakai air hangat (dok.pribadi)
Biogas berlimpah tiap hari mandi pakai air hangat (dok.pribadi)
Karena biogas melimpah inilah keluarga Abdurrahman hampir setiap mandi menggunakan air panas. Tinggal masak di kompor sambil bergantian memandikan kedua anaknya.

Limbah digester bisa dijadikan pupuk untuk tanaman (dok.pribadi)
Limbah digester bisa dijadikan pupuk untuk tanaman (dok.pribadi)
Digester juga tetap dilakukan pengecekan di mulut keluaran. Jika sudah penuh maka hasil olahan sampah organik yang sudah membusuk dan mengeluarkan gas ini bisa dimanfaatkan untuk pupuk tanaman.

Karena di sekeliling digester masih banyak kebon, kadang-kadang Abdurramham sembarang saja memberikan pupuk-pupuk tersebut ke beberapa tanaman yang ada di sekitarnya.

Tetangga-tetangga Abdurrahman yang awalnya kurang tertarik, kini malah mulai membuka diri dengan energi terbaharukan dari sampah organik ini. Akhirnya mereka berbondong-bondong membuat penampungan biogas sendiri di rumahnya dan mengambil aliran selangnya lansung dari digester milik Abdurrahman dan istri.

Karena keduanya merasa pasokan biogas melimpah akhirnya digester tersebut dibagi ke dua rumah lainnya ke tetangga. Selingkungan tetangga Abdurrahman jadi ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pasokan sampah organik ke digester.

Hibah dari pemkot Bandung (dok.pribadi)
Hibah dari pemkot Bandung (dok.pribadi)
Dari contoh ini alangkah bijaknya jika warga Jawa Barat sudah melakukan langkah-langkah antisipatif untuk menghadapi ancaman kekurangan gas di Jawa Barat pada tahun 2019. Permintaan yang tinggi dengan produksi yang terbatas jelas akan semakin membuat gas di pasaran semakin langka dan berebutan.

Daripada berebut dan menuggu gas langka, lebih baik beberapa warga sudah mulai kerjasama membangun digester sendiri secara berkelompok agar biaya pembangunannya pun bisa ditanggung bersama-sama sehingga bisa lebih murah.

Dengan menggunakan digester ini sebetulnya ada dua manfaat yang bisa dipetik. Pertama, warga bisa memanen biogas setiap hari tanpa khawatir akan kelangkaan gas pada tahun 2019 dan manfaat kedua adalah berkurangnya sampah organik di Bandung, Jawa Barat.

https://dzulfikaralala.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun