Sekitar dua minggu yang lalu saya ke daerah Cikini untuk mengikuti sebuah pelatihan di sebuah co-working space. Karena baru pertama kalinya ke Cikini setelah beberapa puluh tahun yang lalu, saya pun memarkirkan kendaraan roda dua di tempat yang sudah ditentukan.
Belum selesai merapikan helm dan jaket ke dalam bagasi motor, sekonyong-konyong datang seorang pemuda dengan perawakan tinggi besar tapi menyambut dengan ramah. Mirip-miriplah sama Kevin Alegion kalau ada maunya.
Tanpa babibu saya langsung diminta ceban (Rp 10 ribu) untuk sekali parkir.
"Bah! kok mahal banget sih bang?"
"Abang parkir sampai jam berapa? Kalau sampai sore ceban udah murah banget bang!" timpalnya.
Jujur saya baru kali itu saya parkir di tempat yang disediakan mesin berbayar. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya saya iyakan sajalah. Saat itu saya datang pukul 10 pagi dan rencananya pelatihan akan berakhir pukul 17.00. Artinya saya harus parkir kendaraan saya selama tujuh jam. Sedangkan tarif parkir motor adalah Rp 2000/jam.
Pria dengan baju parkir resmi berwarna biru muda pun memberikan jaminan.
"Udah, Bang, nanti sore jam empat abang ketemu saya lagi deh. Nanti abang pasti dapet resinya kok! Ini saya resmi pakai pakaian Dishub."
Ah, karena dapat jaminan seperti itu akhirnya saya menyerahkan lembaran sepuluh ribu. Ternyata bukan hanya saya saja, beberapa pengguna roda dua yang parkir di tempat yang sama pun diminta tarif yang sama.
Sore pun akhirnya tiba...
Abang yang tinggi besar dan berkulit gelap itu menahan saya ketika saya akan masuk ke ruangan. Ternyata dia ingin memberikan resi yang dijanjikannya. Namun, ternyata resi yang diberikan berbeda dengan plat nomor motor saya. Sontak saya protes.
"Lah, ini kok beda nopolnya bang?"
Sepertinya dia mulai paham. Akhirnya dia mengajak saya ke sebuah mesin dan melakukan pembayaran.
Jujur saya gak ngerti cara menggunakan mesin tersebut karena itu pertama kalinya saya lihat. Ternyata pembayarannya harus menggunakan uang elektronik.
Jadi, saya bayar ke tukang parkirnya dan tukang parkirnya yang menalangi dengan menggunakan kartu e-moneynya.
Ternyata dia memasukkan nopol kendaraan saya pada pukul 16.00. Artinya saya hanya dihitung parkir satu jam saja, iya cuma satu jam saja!
Tadinya saya mau protes, hanya saja karena ketinggalan sesi materi akhirnya saya tinggalkan Kang Parkir tersebut dengan perasaan dongkol karena telah dibohongi.
So, saya jadi sangsi jika ada kebijakan sekali parkir Rp 50 ribu di Jakarta mulai diterapkan terutama di beberapa jalan yang masih menggunakan mesin pembayaran.
Kenapa tidak kita balik, bagaimana jika pertumbuhan kendaraan pribadinya dibatasi? Bagaimana jika pertumbuhan kendaraan umumnya ditambah? Bagaimana jika keamanan dan kenyamanan kendaraan umumnya diperbaiki? Dan sejumlah alternatif lainnya yang harus dipikirkan untuk menjamin bahwa semua orang benar-benar yakin bahwa pemerintah serius untuk memperbaiki fasilitas transportasi umum di Jakarta.
Akur kan?
http://dzulfikaralala.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H