Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Ketapels Duo Kartini] Jalan Sunyi Duo Kartini Asal Tangsel

21 April 2016   23:22 Diperbarui: 21 April 2016   23:46 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Yuli dan Riris bintang tamu Mata Mey dok.pri"][/caption]Berangkat dari sebuah kegelisahan ternyata bisa dijadikan sebuah passion yang menggelora dan tak pernah padam. Begitu juga apa yang ditempuh oleh Riris Marpaung, penerima penghargaan perempuan inspiratif Nova pada tahun 2015 dalam bidang teknologi. Riris dengan latar belakang perpustakaan justru memilih jalan sunyi, terjun dan mendirikan sebuah studio games untuk membawa nama bangsa di kancah dunia.

Riris dan rekannya akhirna mendirikan studio games bernama gambreng games. Dibawah bendera inilah Riris mengumpulkan talenta muda berbakat untuk sama-sama mengembangkan games yang edukatif namun tetap menghibur. Tak menunggu waktu lama, Gambreng games mulai dikenal sebagai salah satu studio games andal. Bahkan Malaysia pun berkali-kali menawarkan scholarship agar gambreng games bisa berkarya di tanah Melayu.

Namun, Riris bergeming. Ia ingin games Nasional bisa bangkit dan sejajar dengan bangsa lainnya. Indikatornya sederhana saja. Saat ini hampir tidak ada studio games di Indonesia yang memuncaki top ten games paling banyak di unduh di Google Play Store. Semua games berasal dari luar negeri. Sedikit sekali studio games yang bisa bertengger di 10 besar Google Play Store. Inilah yang membuat Riris dan kawan-kawan gelisah dengan masa depan games Indonesia. Bisa-bisa Indonesia hanya menjadi target pasar saja. Padahal potensinya sangat besar ungkap Riris saat berbagi suka duka membangun gambreng games dihadapan member Kompasianer Tangsel Plus (KETAPELS) di Dago Resto, Pamulang, Tangerang Selatan (17/04/2016)

Riris mengganggap Pemerintah Indonesia tidak memiliki visi dan misi dalam mengembangkan games di Indonesia. Padahal negeri tetangga seperti Singapura dan Malaysia sudah mulai gencar berburu talenta muda dari Indonesia. Mereka bahkan berani memberikan biaya besar agar para developer games Indonesia mau berkarya di negeri Jiran. 

Untunglah tak semudah itu membujuk mereka. Mereka masih berharap Indonesia jaya di negeri sendiri. Bukan melulu menjadi target pasar tapi sebagai pelaku pasar. Tapi, apakah ada dukungan dari pemerintah? Sampai saat ini tidak ya. Bahkan dukungan dari media saja minim. Media sebagai nakhoda opini masyarakat pun sepi memberitakan perkembangan developer games di Indonesia. Riris mengkritik media-media yang terlalu banyak megulas produk smartphone dibandingkan mengulas perkembangan dan even developer games di Indonesia. Meskipun ada jumlahnya hanya bisa dihitung jari. Bahkan ada sebuah portal berita games yang sudah mati suri.

[caption caption="gambreng games membawa perlatan tempurnya dok.pri"]

[/caption]Riris menilai dunia developer games Indonesia ini kini merangkakpun tidak. Mungkin lebih tepat dikatakan tiarap. Jakarta saja yang merupakan ibukota negara Indonesia hanya memiliki sekitar 50 studio games, dan yang aktif hanya dibawah 30 studio games termasuk gambreng games. Inilah yang membuat Riris gelisah. Apa jadinya jika negeri Jiran nanti lebih digdaya dalam 5 hingga 10 tahun kedepan?

Untuk itulah Riris dan Gambreng Games sangat berharap bisa berkolaborasi dan belajar bersama untuk mengembangkan dunia developer games Indonesia. Riris sangat terbukan untuk sharing dan saling tukar pengalaman. Bahkan Riris sanggup mengajari dari hal terkecil hingga bisa berkiprah di pasar games luar negeri seperti Amerika. Benar, games besutan Gambreng Games tidak hanya hadir dalam bentuk mobile di Indonesia melalui App Store dan Google Store, namun juga mulai membidik pasar Amerika yang memiliki pasar games paling potensial. 

Riris menambahkan bahwa siapapun bisa mulai dari nol untuk belajar mengembangkan sebuah games. Syaratnya harus open minded, mau belajar dan berusaha untuk mempelajari IT. Itulah yang dilakukan Riris selama ini meskipun berlatar belakang Perpustakaan.

Tak mau meninggalkan profesi dan kecintaannya pada perpustakaan. Riris kini masih menekuni dan berprofesi sebagai pustakawati di salah satu sekolah di Tangerang Selatan.

[caption caption="Ketua Ketpels Kang Rifki dan Mata Mey dok.pri"]

[/caption]Kompasiner yang digawangi oleh Rifki Feriandi dan Gapey Sandy sudah mulai aktif melakukan even rutin. Pertemuan bersama Riris dan Yuli merupakan even kedua yang dilakukan pada bulan April. Kedepan even ini akan terus digalakan untuk memunculkan inspirasi dari Tangerang Selatan khususnya.

Setelah mengulas tentang Fingertalk, Cafe Tunarungu pertama di Indonesia, kali ini Ketapels mengangkat dua orang perempuan peraih penghargaan perempuan Inspiratif Nova tahun 2015. Salah satunya adalah Riris Marpaung yang menekuni bidang teknologi. Tak banyak memang yang menekuni bidang yang Riris tempuh. Inilah jalan sunyi yang bagi Riris sudah harus diperjuangkan.

[caption caption="Suasana santai member Ketapels bersama narsum dok.pri"]

[/caption]Tak berbeda dengan Riris yang harus merogoh kocek sendiri dan bisa dibilang belum untung. Yuli Supriati pun demikian. Peraih penghargaan perempuan inspiratif Nova 2015 kategori kesehatan ini pun merasa terpanggil untuk menjadi salah satu relawan DKR (Dewan Kesehatan Rakyat). Apa sih tugas dan fungsi DKR. Salah satunya adalah melakukan advokasi kepada pasien-pasien BPJS yang belum mendapatkan informasi cukup ketika berobat ke Rumah Sakit atau fasilitas kesehatan yang dipilih.

Ponsel Yuli kini standby 24 jam untuk membantu siapapu pasien BPJS yang membutuhkan bantuannya. Yuli lah yang berjuang mati-matian agar pasien BPJS mendapatkan hak-haknya meskipun Yuli tak dibayar. Murni semua dilakukan karena panggilan hati. Yuli merasa pilu ketika banyak pasein BPJS yang sulit mendapatkan hak-haknya di Rumah Sakit bahkan terkadang "dikibulin".

Yuli menilai bahwa masih banyak sekali problem di lapangan yang belum terselesaikan tentang BPJS. Itulah yang menjadi landasan mengapa DKR menolak kerasn kenaikan tarif iuran BPJS. Perjuangan DKR hanya bisa memperjuangkan anggota kelas 3. Sedangkan kelas 2 dan 1 tetap mengalami kenaikan iuran BPJS.

Miris dan selalu ingin mengurut dada ketika Yuli bercerita tentang pasein-pasiennya yang ditangani olehnya. Tak heran kini Yuli pun sudah dikenal oleh hampir seluruh Rumah Sakit di Tangerang dan Tangerang Selatan. Yuli tak segan-segan berdebat dengan perawat hingga dokter. Bahkan direktur Rumah Sakit pun Yuli datangi demi memperjuangkan hak pasein BPJS.

[caption caption="Duo Kartini dari Tangsel dok.pri"]

[/caption]Yuli menyadari bahwa ada ketidakadilan antara anggota BPJS baru dengan mantan anggota ASKES yang kini telah beralih semua menjadi BPJS. Pasalnya beberapa TNI/POLRI/PNS yang telah bertahun-tahun gajinya dipotong untuk ASKES kini kelasnya harus disamakan dengan BPJS. Udah kebayang belum sakitnya seperti apa?

Wajar jika Rumah Sakit terkesan jual mahal jika ada pasein yang datang bermodalkan kartu BPJS. Begitu juga dengan apa yang saya alami di salah satu RS pinggir rel kereta di BSD. Alih-alih bisa menggunakan BPJS, saya malah jajan sampai 400 ribu karena mampir ke UGD. Beneran sakitnya tuh disini deh (nunjuk ulu hati paling dalem). Jadi apa gunanya saya bayar iuran tapi tetap dikutip biaya juga? Aneh kan BPJS ini. Atau mungkin RSnya yang memanfaatkan ketidaktahuan pasein.

Yuli mengungkapkan dari lima elemen yang ada, ternyata masih banyak kelemahan. Lima elemen tersebut yaitu,

1.BPJS

2. PEMDA, Dinas Kesehatan

3. RS (Dokter)

4. Pengawas

5. Peserta

Ketiadaan pengawas menjadikan BPJS di lapangan makin karut marut. RS pun terkadang banyak berdalih jika menerima pasien BPJS. Alasanya ya berbagai macam. Mulai dari kamar penuh hingga tidak ada obat yang sesuai dengan plafond yang ditetapkan BPJS. Jika sudah begitu Yuli lah yang akan menengahi dan memperjuangkan pasein mendapatkan haknya.

Tak sedikit pasein yang sudah ditolong oleh Yuli. Mulai dari yang tidak mampu sampai yang mampu tapi ya gitu deh. Banyak mafianya juga ternyata di RS.

Bukan berarti tidak ada RS yang baik. Yuli bahkan mengungkapkan salah satu RS terbaik yang pernah ia kunjungi adalah RS Pelni. RS Pelni memiliki info digital untuk ruang yang kosong atau terisi. Sistem ini sama seperti yang tertera di tempat parkir pusat perbelanjaan. Jadi, saat akan masuk gedung parkir sudah tertera sisa tempat parkir tersedia, sehingga tidak harus mutar-mutar dahulu.

Harapannya semua RS yang menerima pasein BPJS bisa meniru langkah RS Pelni. Agar memudahkan pasein yang membutuhkan pertolongan.

Yuli mengakui bahwa ada beberapa pasien BPJS yang meninggal sebelum masuk meja operasi. Hal ini dikarenakan antrian yang sangat panjang. Mekanisme dan birokrasi seperti inilah yang membuat antrian pasein semakin panjang. Untuk USG dan tindakan-tindakan yang membutuhkan biaya besar, ternyata juga harus antri. Wajar jika ada istilah meniggal duluan sebelum masuk meja operasi.

Call Center BPJS pun dipertanyakan. Bahkan salah satu member Ketapels bilang bahwa ketika telpon ke Call Center BPJS tak pernah diangkat. Sekalinya diangkat selalu pura-pura tidak mendengarkan. Beginikah layanan BPJS yang sudah minta kenaikan tarif iuran?

Ketidaksiapan BPJS dalam menagani sistem yang harus ditempuh pasein di lapangan memang patut dipertanyakan. Banyak sekali pasein yang awam. Celah-celah inilah yang dimanfaatkan oknum tertentu untuk memeras pasein. Sudah sakit, diperas pula. Bak sudah jatuh lalu tertimpa buah durian. Mati lah dia!

Meski tak dibayar Yuli akan tetap melayani dan memperjuangkan hak-hak pasein BPJS sampai dia tidak mampu lagi. Namun, dari beberapa kasus yang ditangani oleh Yuli, rata-rata berhasil diselamatkan meskipun harus "gontok-gontokan" dengan Rumah Sakit dan BPJS sendiri.

Kedua perempuan diatas bagi saya bukan hanya saja teladan, namun contoh Kartini masa kini yang memilih jalan sunyi. Pasalnya karena sedikit sekali yang memilih jalan seperti mereka berdua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun