Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[Ketapels Berdaya] Gadis Cantik Ini Mendirikan Cafe Tunarungu Pertama di Indonesia

17 April 2016   20:50 Diperbarui: 17 April 2016   21:12 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dissa sedang menjelaskan salah satu sudut di Cafe Fingertalks Pamulang"][/caption]

Bukan perkara mudah menemukan Café Tunarungu pertama di Indonesia ini, Lokasinya tidak terlalu strategis namun setelah satu tahun didirikan, Café yang agak menjorok ke dalam ini ternyata sudah balik modal! Saya makin heran dan penasaran. Kok bisa Café yang dikelola para difabel ini bisa sebegitu terkenal hingga ke telinga Obama, Presiden Amerika Serikat yang gemar nasi goreng dan pernah tinggal di Indonesia ini.

Ternyata lokomotif Café Tunarungu di Jalan Pinang No 37 Pamulang Timur, Tangerang Selatan, adalah seorang gadis cantik yang menguasai lima bahasa yang sudah pernah mengikuti kegiatan sosial di beberapa Negara. Ia adalah Dissa Syakina Ahdanisa. Bukan tanpa alasan Dissa mendirikan Café ini, ada niat baik yang hendak Dissa wujudkan salah satunya adalah memberikan kesempatan bagi mereka yang tunarungu untuk bekerja normal dan mendapatkan penghasilan yang layak seperti manusia normal lainnya.

Tak Surut Langkah Meski Awalnya Takut Disangka Memanfaatkan Kaum Difabel

DCIM100MEDIA
DCIM100MEDIA

Pertanyaan ini sering mengemuka saat seseorang berani mempekerjakan kaum difabel untuk sebuah usaha komersil. Prasangka memanfaatkan kaum difabel untuk mendapatkan keuntungan tak membuat Dissa menyurutkan langkah. Bahkan Dissa justru ingin membuktikan bahwa apa yang selama ini dipikirkan orang lain itu tidak benar. Dissa merangkul semua tunarungu untuk memajukan usaha bersama yang dibangun dengan cinta.

Saat saya datang ke Café Fingertalk ini tak ada nuansa yang aneh-aneh. Malah Café ini sangat semarak dengan hiasan warna warni nan kreatif dari tangan-tengan terampil mereka yang tunarungu. Mulai dari batik, pernak-pernik unik hingga berbagai kreasi rajutan yang dijual dan dipajang dietalasi Café. Ini yang membuat Café Fingertalk ini memiliki nilai tambah dibandingkan dengan Café lainnya.

Baca juga Mereka Hanya Tuli Tapi Tidak Bodoh

Value Café Fingertalk

IMG_20160410_114347
IMG_20160410_114347

Bukan hanya itu saja. Pramusaji dan koki disini juga sudah merupakan nilai tambah yang tidak bisa didapatkan di café manapun juga. Soal harga dan rasa makanan di Café Fingertalk ini sangat kompetitif. Saya suka ayam bakarnya. Apalagi suasananya homy banget karena area Café mengusung tema terbuka yang membuat suasana semakin akrab dan nyaman. Jangan heran jika masih terdengar lantunan lagu-lagu kekinian di Café tunarungu ini.

Benar, bukan berarti kita tidak bisa menikmati suasana café yang sebenarnya. Bahkan saat saya berkunjung ke Café Fingertalk 10 April 2016 lalu, ada pelanggan lain yang tengah mengadakan rapat. Café Fingertalk ternyata sering dijadikan tempat rapat dan presentasi. Jadi bukan hanya sekadar ngopi-ngopi cantik atau makan siang.

Baca juga Cafe Fingertalk, Menyemai Asa di Dunia Senyap Para Penyandang Tuli

Motivasi Dissa Mendirikan Café Tunarungu di Pamulang

DCIM100MEDIA
DCIM100MEDIA

Ini juga yang menjadi salah satu pertanyaan. Kenapa harus pamulang? Kenapa harus Café tunarungu? Interaksi Dissa dengan kaum tunarungu ternyata sudah jauh hari sebelum Dissa mendirikan Café. Istimewanya lagi Dissa merupakan gadis yang terdidik. Bahkan gelar S2nya berhasil diselesaikan di Australia.

Meski pernah bekerja di luar negeri, Dissa memilih kembali dan mendirikan Café tunarungu ini. Sebuah lompatan quantum yang tidak bisa dilakukan oleh banyak orang. Inspirasi itu datang ketika Dissa bekerja sebagai seorang relawan di luar negeri sebagai pengajar Bahasa Inggris.

Baca juga Deaf Cafe – Sinergi Empat "Pilar" Kebaikan Berdayakan Tuna Rungu

Niat baik Dissa memberdayakan para tunarungu ini ternyata mempertemukannya dengan seorang Pat Sulistyowati yang telah malang melintang aktif di Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia. Rumah ibu Pat yang merupakan pusat pelatihan keterampilan tunarungu akhirnya dipilih sebagai lokasi Café Fingertalk.

Masyarakat sekitar pun lebih mengenal Café Fingertalk ini sebagai pusat keterampilan komunitas tunarungu ketimbang sebuah Café. Namun beberapa ada juga yang sudah mengenal Café tunarungu ini ketika saya beberapa kali bertanya pada warga saat menuju ke Café FIngertalk.

Ketapels di Café Fingertalk Pamulang

IMG_20160410_094348
IMG_20160410_094348

Kami komunitas kompasianer Tangerang Selatan Plus merasa beruntung karena dipertemukan dengan Dissa oleh kompasianer langganan juara Gapey Sandy. Saya sendiri kuper sekali baru tahu bahwa ada Café Fingertalk di Pamulang setelah membaca reportase lengkap ala Gapey Sandy sebelumnya.

Berangkat dari situlah bang Gapey mengusulkan untuk mengadakan event perdana Ketapels di Café Fingertalk Pamulang. Bagi saya inilah inspirasi sebenarnya. Mungkin kita sering mendengar bahwa banyak lulusan luar negeri yang tak mau kembali karena tidak ada lapangan pekerjaan dan memilih bekerja di luar negeri. Kembali ke Indonesia bagi para sebagian lulusan luar negeri itu memang pahit. Sudah tak dihargai pemerintah sendiri, berkarya pun kadang malah bisa dibui.

Baca juga Seminar Berdayakan Tuna Rungu, Ajang Perdana Ketapels

Lantas mengapa berbeda dengan Dissa? Saya hanya bisa menjawab ini hanya masalah persoalan panggilan jiwa dan dorongan hati. Saya acungi jempol untuk kerja keras, usaha dan pengorbanana Dissa mendirikan Café Fingertalk ini hingga bisa dikenal sampai mancanegara. Beruntung Dissa memiliki banyak koneksi di dalam negeri maupun di luar negeri sehingga Café Fingertalk ini menjadi salah satu contoh sukses pemberdayaan komunitas tunarungu di Pamulang, Tangerang Selatan.

Karut Marut Bahasa Isyarat di Indonesia

DCIM100MEDIA
DCIM100MEDIA

Sesaat sebelum acara jumpa blogger dimulai, saya sempat berbincang cukup lama dengan Pingkan C.R. Warouw. Dengan penampilan menarik, rambut bondol yang diwarnai merah, penampilan Pingkan memang sangat mencolok dibandingkan dengan tamu lain yang hadir. Sebagai seorang Interpreter yang tergabung dalam Indonesia Sign Language Interpreter (INASLI) Pingkan bicara blak-blakan tentang dunia bahasa Insyarat di Indonesia.

Ceritanya begitu menggebu sampai-sampai semua orang bisa menatap menja panas kami bak sebuah acara talk show ILC yang kadang isinya lawakan hahahaha. Bukan tanpa sebab kami diperhatikan semua orang yang sudah lebih awal hadir. Pasalnya ibu Pingkan ini biacara dua bahasa. Disaat berbicara pada saya yang bisa mendengar ini, dalam waktu yang bersamaan PIngkan mengerak-gerakkan tangannya memberikan isyarat pada salah satu tamu juga yang hadir disitu. Kebetulan tamu tersebut tunarungu.

“Bayangkan mas, di Jakarta saja ada empat bahasa Isyarat yang berbeda. Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta Timur” seperti Pingkan agak lupa kalau Jakarta punya wilayah pusat dan Kepulauan Seribu. Tapi siapa yang punya data valid tentang keberadaan tunarungu di Indonesia. Memangnya BPS punya?

Baca juga Bikin Pusing, Terlalu Banyak Bahasa Isyarat di Indonesia.  

Saat ditanya berapa jumlah populasi tunarungu di Pamulang saja Pingkan menggelengkan kepala sambil memasang tampak jelek. Sumpah saya hampir ngakak dibuatnya. Tapi begitulah gaya dan ekspresi seorang interpreter bahasa Isyarat. Begitu ekpresif dan dapat terbaca dari raut wajahnya.

Pekerjaan Rumah Pemerintah dan Masyarakat

IMG_20160410_122118
IMG_20160410_122118

Amerika saja butuh seratus tahun untuk menyatukan bahasa Isyarat. Indonesia baru saja mengagasnya belakangan ini dan tidak mungkin bisa langsung jadi dalam beberapa tahun saja. Alasannya rasa primordialisme bahasa insyarat di setiap daerah ini sangat tinggi dikalangan tunarungu. Inilah salah satu sebab mengapa sulit sekali menyatukan bahasa Isyarat seluruh Indonesia.

Bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu, tapi ternyata kita lupa bahwa kaum tunarungu ini belum bersatu secara bahasa. Dan mereka hanya bisa disatukan dengan bahasa Isyarat. Indonesia memang sudah memiliki Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) namun tak lantas BISINDO ini bisa mulus diterima oleh tunarungu di seluruh Indonesia. Jangankan di Indonesia, di Jakarta saja sulit. Belum lagi jika di sosialisasikan di Jabobetabek. Mungkin prosesnya bisa 100 tahun juga seperti apa yang dilakukan oleh Amerika.

IMG_20160410_095032
IMG_20160410_095032

Ibu Pat juga banyak memberikan pesan bahwa agar masyarakat tidak membeda-bedakan mereka yang tunarungu dengan yang lainnya. Mereka ini pintar kok, mereka tidak bodoh hanya tunarungu saja. Mereka semua bisa dilatih dan bekerja secara professional. Tak bisa dimungkiri memang baik dari sisi pemerintah dan masyarakat belum banyak berpihak pada kaum difabel. Jangankan yang tunanetra, yang sakit untuk berobat menggunakan BPJS saja masih berantakan kok.

Disinilah peran pemerintah diuji sekaligus dipertanyakan. Dimana perhatian pemerintah terhadap warga tunarungu seperti mereka. Semoga saja dengan adanya Café Fingertalk ini membuka wawasan dan pandangan baru bagi kita semua untuk lebih peduli terhadap kaum difabel secara umum. Jika diberi kesempatan mereka pasti akan berjuang layaknya orang normal biasa. Terbukti Dissa mampu mengelola hingga Café Fingertalk ini dalam waktu dekat akan membuka cabang di tempat yang lebih strategis.

Baca reportase Ketapels lainnya disini [Ketapels Berdaya]

Semua foto adalah koleksi pribadi.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun