Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

KRL, Transportasi Massal yang Dapat Diandalkan

6 Desember 2015   23:12 Diperbarui: 6 Desember 2015   23:12 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Stasiun Palmerah Commuter Line (dok.pribadi)"][/caption]

Kemacetan ibukota saat ini sudah hampir membuat mati kutu pengguna kendaraan
bermotor pribadi. Bahkan, pembangunan proyek MRT membuat kemacetan semakin
menjadi-jadi. Beberapa ruas jalan sudah pasti terganggu. Untunglah kita masih punya
Commuter Line atau dikenal juga dengan Kereta Rel Listrik (KRL).

KRL buat saya sudah tidak asing lagi. Bahkan transportasi kereta ini sudah saya kenal sejak
tahun 2002-2004 saat saya masih tinggal di Kalibata. Pada saat itu boleh dibilang kereta
merupakan alat transportasi yang paling cepat menjangkau tujuan yang cukup jauh. Dari
Kalibata saya bisa sampai di stasiun kota dalam beberapa menit saja. Bahkan untuk bisa
mencapai Bogor tidak dibutuhkan waktu lama.

Kereta saat zaman "jahiliyah" memang memberikan kesan tersendiri. Sungguh terasa sekali
perbedaannya dengan masa kini. Tak terbilang nyawa melayang karena banyak penumpang
yang naik hingga atap kereta. Tak terbayang berapa banyak penumpang gelap yang lalu
lalang lenggang kangkung menghirup udara bebas tanpa membayar sepeserpun ongkos
selama bertahun-tahun. Tak ayal ruang kemudi masinispun menjadi tempat eksekutif bagi
mereka yang tidak kuat berdesakan dan punya duit lebih untuk bisa sampai tujuan dengan
sedikit lebih nyaman.

Bagi saya, KRL zaman dulu bak sebuah panggung terpanjang.Saat-saat lowong, pengamen
berkeliling dari gerbong satu ke gerbong lainnya, mengetuk kantong para penumpang.
Sementara julukan pasar terpanjang pun tak lekang sebagai sindiran karena KRL tak
ubahnya seperti pasar serba ada. Dari penjaja peniti hingga penjaja sarapan dan makan
siang. Semua serba ada hingga barang-barang yang tidak terpikirkan diperjalanan malah
bisa dibeli saat di gerbong kereta. Saya akui ada saja barang canggih yang dijajakan diatas
KRL.

Hampir semua penumpang tergoda dan terayu dengan bujukan para penjaja diatas kereta.
Bayangkan saja, tanpa jalan jauh, tanpa menawar, penumpang sudah bisa mendapatkan
barang dengan harga miring. Siapa yang tak tergoda. Sehingga simbiosis mutualisme
tercipta disana. Belum lagi dengan penjaja kaki lima di stasiun-stasiun yang membuat
lalulintas di perlintasan kereta semakin semrawut. Rasanya kepala mau pecah saat itu
setiap melalui perlintasan kereta. Butuh waktu lebih lama dari sekedar ijab qabul.

Perlintasan kereta saat itu menjadi momok yang menakutkan bukan hanya saja sebagai
biang kemacetan tetapi juga sebagai biang keruwetan. Untunglah beberapa perlintasan
dibangun underpass atau flyover.

Kini memang pelayanan KRL sudah berbeda. Saya merasakan betul transformasi KRL
menjadi lebih modern. Penggunaan kartu langganan multi trip dan kartu single trip
memotong para penumpang gelap. Seleksi dilakukan tidak lagi didalam gerbong melainkan
saat memasuki stasiun kereta. Memang konon masih ada celah, tapi segera mungkin PT
KCJ agar dapat segera memperbaikinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun