Sunset dimanapun akan terlihat berbeda meskipun mataharinya sama. Itulah salah satu keajaiban alam. Ibarat seorang gadis yang akan tidur, ia akan terlihat begitu cantik dimanapun tertidur. Entah itu di kereta, metro mini atau terduduk termangu menunggu pesawat di bandara. Begitu juga sunset yang kali itu saya saksikan di Tanjung Layar Desa Sawarna Banten. Kata pemandu lokal bahwa selama tiga hari sebelumnya, nyaris turis lokal selalu gagal melihat sunset karena tertutup awan dan hujan. Begitu juga saat saya hampir tiba di tanjung layar bersama beberapa peserta didik. Sekonyong-konyong hujan menyambut kedatangan kami hanya beberapa depa lagi dari tanjung layar. Huft... Alhamdulillah....Untunglah Dewi Fortuna masih memihak pada kami. Tak berapa lama hujan terhenti dan sesekali gerimis mewarnai keindahan sunset di tanjung layar. Matahari saat itu memang sudah condong ke barat. Kami tergopoh-gopoh dari goa lalay untuk mengejar tenggelamnya matahari dibalik karang tanjung layar.
Syukurlah meski harus berjalan sejauh 3.8 kilometer, pemandangan yang kami saksikan seolah membayar lunas letih dan lelah selama perjalanan. Belum lagi rasa mual yang masih terasa setelah menempuh delapan jam perjalanan dari Serpong hingga tiba ke Desa Sawarna Bayah, Banten
Tanjung layar memang maskot desa wisata Sawarna, Banten. Tak kalah jika dibandingkan dengan Phi Phi Island di Thailand yang dikenal dengan James Bond Island. Meskipun tak bisa snorkeling, namun keindahan susunan karang sudah cukup memuaskan dahaga menikmati keagungan sang pencipta.
Menurut guide lokal, kunjungan wisatawan lokal meningkat saat weekend. Bahkan pada tahun baru 2013, kunjungan wisatawan melonjak berkali lipat. Berbeda jauh saat tahun baru 2014. Maka tak heran jika banyak penduduk setempat yang mengalihfungsikan rumah mereka menjadi penginapan bagi para turis lokal. Tak terlalu sulit untuk mencari penginapan di Sawarna. Dengan kapasitas lebih dari 500 orang saya cukup yakin membawa 109 orang bersama untuk menikmati keindahan alam Desa Wisata Sawarna.
Dengan rate penginapan antara 160 ribu rupiah/pax (include makan 4 kali) setiap turis lokal sudah dijamin bisa tidur tenang dan menikmati beberapa tempat wisata selain tanjung layar seperti goa lalay, pantai ciantir, dan keindahan teluk beserta jejeran karang Lagon Pari. Udara di Sawarna tidak terlalu panas seperti di Pulau Pari Kepulauan Seribu. Fasilitas air bersih pun jauh dari memadai. Airnya benar-benar tawar dan tidak payau seperti khas pesisir pantai. Maka tak rugi jika memilih honestay tanpa pendingin udara sekalipun. Karena homestay bukan tempat menarik untuk berlama-lama menghabiskan waktu liburan atau studiwisata.
Konon, menurut beberapa cerita bahwa Keindahan alam desa Sawarna baru dikenalkan oleh beberapa mahasiswa yang melakukan penelitian pada tahun 2007. Berkat kemajuan teknologi maka tersebarlah keindahan alam yang tersembunyi dari desa penghasil gula kepala pada zaman dahulu kala. Dua karang yang mirip dengan layar perahu berpasangan, sehingga klop sudah dinamai dengan karang tanjung layar hingga saat ini.
Dalam perjalanan menuju desa Sawarna terhampar luas sawah dan perkebunan sawit. Sayang, sekarang sulit mendapati pengrajin gula kelapa yang sejak sebelum kemerdekaan dikenal sebagai desa sentra penghasil gula kelapa. Seorang Belanda pada tahun tigapuluhan sebelum Indonesia merdeka dikabarkan yang pertama kalinya membuka perkebunan kelapa di desa Sawarna. Yang tersisa hanya beberapa orang dari pelosok desa yang menjual hasil produksi gula aren dan menitipkannya di warung-warung di Sawarna. Selain gula aren, saya pun membawa oleh-oleh sale pisang basah khas Sawarna.
Geliat wisata yang memperbaiki kehidupan ekonomi masyarakat Sawarna yang ramah dan bersahabat, baru terasa sejak dua tahun sebelumnya. Mata pencahariaan utama masyarakat selain menjadi nelayan, juga bertani dan bercocok tanam. Ada perkebunan jagung hingga kacang tanah yang di tanam di sepanjang pesisir pantai Sawarna hingga pantai Lagon Pari.
Landscape Sawarna boleh dibilang paling lengkap. Memiliki pantai, karang, sungai, sawah, kebun hingga gua yang lengkap dengan stalaktit dan stalakmit. Kelelawar yang mendiami gua seakan membuktikan bahwa keberadaannya masih alami dan terlindungi. Keindahan Sawarna akan terbayar lunas memang setelah menempuh delapan jam perjalanan darat. Tak ada alternatif jalan terbaik selain melewati jalur dan medan yang terjal dari Sukabumi atau berkora-kora melewati jalur Rangkasbitung hingga Malingping .
Akhirnya hari pertama ditutup dengan manis sambil menyaksikan tenggelamnya sang mentari. Awan berlomba saling menutupi cahayanya hingga tersisa berkas-berkas sinar yang seolah menggambarkan bahwa seorang bidadari tengah turun menuju pantai Selatan yang melegenda dengan segala cerita didalamnya. Salam Hangat @DzulfikarAlala
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya