Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kopi, Temannya para Penulis

24 November 2012   14:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:44 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
coffee (dok.pribadi)

[caption id="" align="aligncenter" width="612" caption="coffee (dok.pribadi)"][/caption] Sejak kecil saya tak pernah mengecap kopi. Jarang sekali orang tua saya terlihat ngopi. Ibu saya penggemar berat teh. Sedangkan bapak saya sepertinya tak begitu doyan ngopi. Tapi sesekali untuk melepas rasa kantuk ketika mengemudi, ia juga ngopi. Saya mulai mengenal kopi lebih dekat ketika kuliah. Terutama setelah kost bareng dengan teman-teman. Kebiasaan teman-teman inilah yang membuat saya kini menggemari kopi. Apalagi jika teman-teman sudah sewa playstation, semalam suntuk mereka pasti begadang ditemani secangkir kopi. Kopi yang pertama kali saya minum adalah kopi siap seduh. Bahkan sampai sekarang saya selalu membeli satu renceng kopi untuk persediaan di sekolah maupun di rumah. Kopi bagi saya adalah teman menulis. Ditengah malam yang sunyi sepi biasanya saya bisa buat satu tulisan panjang ditemani secangkir kopi. Belum lagi jika banyak tugas koreksian dari Sekolah. Teman saya dimalam hari selain laptop yaitu kopi. Kopi begitu berjasa bagi saya. Berkat kopi, saya bisa terjaga dan menulis, mengedit, membaca ulang tulisan hingga mempublishnya di blog. Tak jarang setelah menghadiri sebuah acara, malamnya buru-buru saya buat reportase acara tersebut ditemani secangkir kopi. Dengan kopi, saya menjadi penulis nokturnal. Lebih produktif dimalam hari. Karena jujur saja di pagi hari kegiatan sudah lebih padat. Belum lagi jika sudah punya anak. Jadi, hanya malam harilah saya bisa melakukan kegiatan menulis. Jika malamnya sudah lelah, saya usahakan untuk bangun lebih pagi dan menulis. Entah kenapa malah semangat menulis lebih ampuh agar saya bisa bangun pagi. Ditengah suasana senyap seperti itulah semua ide segar bisa mengalir ditemani secangkir kopi. Bahkan kopi pun menemani perjalanan saya saat mengemudi dari Bandung ke Bondowoso, Jawa Timur hingga mampir ke Bali saat pulang kampung yang lalu. Bapak saya punya resep para sopir supaya tidak mengantuk saat mengemudi. Resepnya adalah secangkir kopi pahit diberi sedikit garam. Benar, campurannya bukan gula melainkan garam dapur. Dijamin mata melek sampai Bali. Beberapa kali saya mencoba menikmati kopi di cafe, tapi lidah saya rasanya sudah cocok dengan kopi siap seduh. Hanya satu kopi yang membuat saya beralih yaitu kopi Aceh. Selain harganya bersahabat, kenikmatannya pun tidak kalah dengan kopi yang disajikan di cafe. Pernah juga mencoba kopi Lampung, tapi menurut saya lebih nikmat kopi Aceh. Maka, ketika adik saya pulang kampung. Saya hanya memesan untuk dibawakan kopi Aceh. Kebetulan adik saya bertugas di Aceh. Bapak saya punya cerita menarik tentang kopi Aceh ini. Sekitar tahun 80/90 bapak saya masih tinggal di Yogyakarta. Kebetulan saat itu dia sedang bersama temannya di alun-alun Yogyakarta. Tiba-tiba hujan turun. Saat itu yang ada didepan mata hanyalah warung kopi. Tak ingin kehujanan bapak saya mampir di warkop itu. Kemudian keduanya pura-pura memesan kopi agar tidak disangka berteduh. Setelah kopi dibuat keduanya langsung meminum kopinya. Wahhh rasanya mak nyes pleng katanya. Lalu bertanya itu kopi apa. Dijawab penjualnya ya kopi Aceh. Kemudian beberapa tahun berlalu bapak saya punya kesempatan ke Aceh. Nah, dia ingat dengan kopi Aceh yang pernah di rasakan dulu di Yogyakarta. Akhirnya ditemani seorang kawannya dia berburu kopi Aceh. Setelah dicicipi ternyata jauh berbeda dengan kopi Aceh yang pernah dia nikmati puluhan tahun yang lalu. Sampai sekarang bapak saya belum pernah lagi menikmati secangkir kopi Aceh seenak itu. Selidik punya selidik ternyata kopi yang dulu dia nikmati sudah mendapat racikan dengan bahan tambahan ganja. Well, di Aceh sendiri ganja konon dulu seperti lalaban. Sama seperti orang Sunda yang makan dengan teman dedaunan sebagai lalaban. Biasanya memang untuk campuran bumbu makanan juga. Nah, saat ini sulit sekali mencari kopi Aceh ganja. Karena ganja sendiri termasuk bahan terlarang. Tapi konon ada rumah makan tertentu saya masih menggunakan ganja sebagai salah satu bumbunya. Untuk tempatnya harus langsung bertanya pada orang-orang tertentu. Setiap kali ngopi saya jadi teringat cerita bapak saya. Mungkin jika dilegalkan, kopi ganja Aceh bisa jadi daya tarik sendiri. Urusan halal dan haramnya saya pikir tergantung dosisnya. Tape saja bisa jadi haram jika peruntukkannya memang diproduksi jadi tuak. Tapi sebagai bentuk kehati-hatian memang sebaiknya meminta fatwa ulama. Wallahu'alam Salam hangat @DzulfikarAlala Http://dzulfikaralala.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun