Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kecerobohan Pemerintah Tak Mengakomodasi Siswa Tunanetra

26 April 2012   08:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:05 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pada pelaksanaan UN tahun ini, pemerintah dinilai lalai menyediakan naskah soal berhuruf braille bagi siswa tunanetra yang mengikuti ujian nasional. Hal ini sangat disayangkan beberapa pihak. Meskipun mereka belajar di sekolah inklusi, semestinya pemerintah memperhatikan hak-hak mereka sebagai tunanetra dengan menyediakannya naskah soal unas berhuruf braille.

Dikutip dari kompas.com, pemerintah menganggap bahwa dengan ditiadakannya soal unas berhuruf braille merupakan langkah agar anak berkebutuhan khusus lebih percaya diri dan merasa tidak dibedakan dengan anak-anak lainnya. Menurut pemerintah dalam hal ini Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim menyatakan bahwa daya serap anak-anak berkebutuhan khusus sama dengan siswa normal lainnya. Alasan itulah mengapa pemerintah menghilangkan naskah berhuruf braille untuk sekolah inklusi. Pemerintah menganggap bahwa dengan dihilangkannya naskah soal berhuruf braille, maka pemerintah telah memposisikan siswa tunanetra memiliki kedudukan yang sejajar dengan siswa normal lainnya.

Alasan pemerintah ini sangat konyol dan tidak mencerminkan intelektualitasnya sebagai pemangku kebijakan. Pemikiran bahwa dengan menghilangkan naskah soal unas berhuruf braille dikatakan salah satu cara memposisikan siswa berkebutuhan khusus dengan siswa normal lainnya sejajar merupakan pemikiran yang sangat sempit.

Meskipun misalnya daya serap siswa berkebutuhan khusus sama dengan siswa normal, namun Musliar Kasim nampaknya lupa bahwa gaya dan cara belajar tiap anak berbeda-beda. Lalu bagaimana dengan siswa tunanetra yang hanya mengandalkan perabaan, pendengaran dan daya ingat? Dengan kemampuan tersebut ternyata pengawas unas mengalami banyak kendala di lapangan. Meskipun siswa tunanetra diberikan dispensasi berupa tambahan waktu 30 menit dalam mengerjakan soal unas. Sebaliknya, dengan memberikan tambahan waktu saja merupakan langkah yang bertentangan jika tujuannya ingin mensejajarkan siswa berkebutuhan khusus dengan siswa normal lainnya.

Penambahan waktu tersebut sebetulnya tidak memberikan efek apapun selain siswa bisa semakin tertekan. Misalnya ketika siswa tunanetra harus mengerjakan soal unas Bahasa Indonesia. Siswa perlu memahami sebuah teks. Memahami sebuah teks terkadang perlu dilakukan berulang-ulang. Belum lagi misalnya ada lima butir nomor yang berkaitan dengan teks tersebut. Bagi mereka yang lupa tentu tidak bisa begitu saja serta merta meminta pengawas untuk membacakan ulang teks-teks yang sangat panjang. JIka saja naskah soal unas berhuruf braille, siswa tunanetra justru akan lebih mandiri dan tidak bergantung. Kemandirian inilah yang seharusnya di tanamkan dengan menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang. Salah satunya adalah menyediakan naskah soal ujian berhuruf braille.

Mungkin contoh tersebut masih cukup sederhana. Bagaimana jika anak-anak tunanetra harus mengerjakan soal-soal matematika, fisika, biologi yang berkaitan erat dengan simbol-simbol dan gambar-gambar yang sulit untuk di deskripsikan. Selain menyulitkan siswa tunanetra, hal ini pun sangan menyulitkan pengawas yang harus membacakan soal-soal tersebut. Presepsi pengawas tentang suatu gambar belum tentu sama dengan presepsi anak-anak tunanetra. Bagaimana pengawas harus menjelaskan gambar lapisan kulit yang harus disebutkan salah satu bagiannya kepada siswa tunanetra? Sulit bukan! Belum tentu pengawas tersebut memiliki latar pendidikan biologi.

Meskipun siswa tunanetra belajar di sekolah inklusi bukan berarti harus mendapatkan perlakuan yang sama sepenuhnya. Ada hal-hal lain yang menyebabkan anak berkebutuhan khusus (ABK) perlu mendapatkan perhatian khusus. Inilah yang menjadi ciri khas sekolah inklusi, meskipun disatukan dengan kelas reguler tetapi tetap ada bimbingan dan panduan tertentu secara personal agar mereka bisa mengikuti ritme belajar di kelas reguler.

Bagaimana Amerika Memfasilitasi Tunanetra

JIka melihat perbandingannya dengan Amerika, Indonesia sangat jauh tertinggal. Dalam berita yang saya baca "Mengamati piranti pendidikan bagi tunanetra di AS" pada tanggal 26 April 2012, akan membuat orang tua yang memilki anak berkebutuhan khusus merasa iri dengan sarana dan prasarana yang tersedia disana.

Teknologi merupakan salah satu media agar siswa berkebutuhan khusus bisa mendapatkan pelayanan pendidikan lebih baik. Ada beberapa contoh hidup di Indonesia yang sukses dalam karir dan pendidikan karena menggunakan bantuan teknologi. Misalnya kisah Taufiq Effendi, meskipun tunanetra dosen UNJ ini bisa mendapatkan delapan beasiswa luar negeri seperti yang dikisahkan Om Wijaya Kusuma disini.

Dalam berita yang dilansir oleh voaindonesia.com tersebut, diketahu bahwa ada sebuah perusahaan yang selama lebih dari 130 tahun telah memproduksi alat-alat pendidikan yang khusus dibuat untuk siswa tunanetra.

Perusahaan tersebut adalah Amarican Printing House yang terletak di Louisville, Kentucky, penerbit terbesar didunia, memproduksi buku-buku yang disertai rekaman suara hingga peta dunia. Perusahaan tersebut memiliki museum yang menyimpan buku pertama untuk tunanetra.

Bukan saja memproduksi buku-buku braille, American printing House juga membuat majalah populer seperti Reader's Digest, Newsweek, dan Weekly Readers dalam versi braille untuk anak muda yang dibiayai oleh donasi umum. Tidak cukup hanya itu saja, formulir pembayaran pajak federal versi braille juga di produksi dalam jumlah yang banyak. Hal remeh-remeh seperti cara merajut pun di buat dalam versi braille.

Hebatnya lagi Library of Congress atau perpustakaan Kongres Amerika di Washington mendanai produksi sekitar 500 buku audio atau talking books setiap tahun. Lalu apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama ini untuk memfasilitasi tunanetra? Al-Quran braille saja sulit kita dapatkan di negeri yang jumlah pemeluk agama Islamnya terbesar di dunia. Kita hanya bisa mendapatkannya di toko buku tertentu. Menurut berita dalam okezone.com pada tahun 2011 diketahui bahwa perpustakaan braille terbaik se-Indonesia saja hanya memiliki 300 judul buku. Karena berbentuk braille, 300 judul buku tersebut berwujud 4.000 buku. Karena satu halaman buku biasa, jika telah diubah bisa menjadi tiga halaman versi braille.

Fakta ini cukup ironis dan sungguh membuat kita hanya sebatas bermimpi memiliki berbagai sarana dan prasarana yang memadai bagi anak-anak berkebutuhan khusus dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Hal yang semakin membuat kita miris. Begitu banyak dana pendidikan yang dikorupsi yang sebetulnya bisa dipergunakan untuk mendirikan perusahan yang menciptakan alat-alat pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Banyak hal yang dilakukan demi memajukan pendidikan di Indonesia jika "tikus-tikus" yang masih berkeliaran itu dijebloskan sedalam-dalamnya ke penjara jahanam.

Melihat kenyataan ini sebetulnya pemerintah malah mengalami kemunduran ketika memutuskan tidak menyediakan naskah soal unas braille. Semoga saja siswa-siswa berkebutuhan khusus yang ikut ujian nasional bisa lulus dengan nilai yang memuaskan.

Serpong

Follow @gurubimbel di twitter

PS. Mohon maaf atas kekeliruan judul sebelumnya. Trims

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun