Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menyiapkan Diri Ketika Ditinggal Pergi Anak Kita

3 April 2012   12:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:05 1550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca tulisan mbak Gaganawati tentang "Bagaimana jika anak kita tewas?" memang membuat kita sebagai orang tua merasa merinding. Banyak orang tua yang belum siap di tinggalkan si kecil yang begitu disayang, apalagi jika ditinggalkan ketika si kecil di usia yang sedang lucu-lucunya.

Ada dua pengalaman yang bisa saya ceritakan disini sebagai pembelajaran. Kisah yang pertama adalah kisah tentang keluarga kami. Kebetulan kakek dan nenek saya memiliki tujuh orang anak. Ibu saya adalah anak pertama. Dari ketujuh anak tersebut si bungsu lah yang paling disayang. Si bungsu usianya tidak terpaut jauh dengan kakak saya dan saya sendiri. Namun, takdir tak dapat di rubah. Paman saya itu meninggal di usia yang sangat belia karena kecelakaan roda dua. Saya masih menyimpan beberapa memori manis bersama paman saya itu. Dia adalah sosok yang jahil tapi baik hati. Kami kerap kali berantem karena urusan sepele. Meskipun demikian saya mengagumi paman saya itu. Dia adalah sosok yang supel di kampung kami. Ketika dia meninggal, banyak sekali masyarakat yang ikut serta mengantar sampai ke liang lahat.

Kisah-kisahnya semasa hidup mulai banyak yang diperbincangkan. Mengingat almarhum meninggalkan kami semua sangat tiba-tiba dan tanpa diduga. Mulai dari beberapa pemuda yang menceritakan bahwa dia adalah sosok anak yang berbakat di bidang catur dan sepak bola. Tak kalah dengan itu beberapa guru pun menceritakan beberapa kenangan manis bersamanya. Salah satu yang saya ingat adalah almarhum adalah sosok yang dapat menghafal lembaran-lembaran Al-Quran dengan begitu mudah dan tergolong cepat. Kami memiliki guru ngaji yang sama. Beliau menuturkan bahwa almarhum memang tergolong murid yang memiliki kemampuan lebih cepat dalam menghafal lembaran-lembaran Al-Quran dibandingkan murid-muridnya yang lain.

Lalu bagaimana perasaan Kakek dan Nenek saya? Kakek dan Nenek saya tentu saja sangat terpukul. Terutama Nenek saya yang ketika itu terlihat belum siap menerima kenyataan tersebut. Kakek saya masih bisa terlihat tegar. Namun, akhirnya memang tangis kakek saya tumpah ketika jasad almarhum dikebumikan.

Nenek saya mulai menata hati. Beberapa pakaian dan barang-barang yang digunakan oleh almarhum di berikan pada orang lain. Mungkin nenek saya khawatir jika barang-barang almarhum akan menjadi bayang-bayang yang tak mampu dia lupakan. Sedangkan kakek saya memiliki pendekatan yang berbeda. Kakek saya memang terlihat sangat sedih. Mengingat almarhum memang disiapkan untuk menjadi seorang Ulama besar yang hafal Al-Quran. Sejak itu, kakek saya mulai lebih banyak uzlah, mengasingkan diri dengan berdzikir dan mendekatkan diri pada Tuhan.

Nenek saya mulai memindahkan kasih sayangnya kepada kami berdua. Cucu pertama dan keduanya. Kakak saya dan saya sendiri. Kadang kasih sayang nenek kepada kami berdua membuat iri anak-anak laki-lakinya yang lain yang merupakan paman-paman kami berdua. Lambat laun luka dihatinya mulai terobati, begitu juga dengan kakek saya yang telah ikhlas dengan kepergian anak bungsunya.

Pengalaman kedua adalah pengalaman ayah saya ketika ditinggal oleh bapaknya. Kakek dari ayah saya memang meninggal dunia dengan penyebab yang sama, yaitu kecelakaan kendaraan bermotor roda dua. Saya tidak bisa mengingat begitu jelas kejadian yang menimpa kakek saya.

Ayah saya tentu saja sangat terpukul dengan kejadian tersebut. Mengingat ayah saya hanya memiliki satu saudara. Kakek hanya memiliki dua orang anak. Sehingga hubungan ayah dan anak memang sangat dekat.

Ayah saya menceritakan bisa lepas dan mulai ikhlas ketika mendekatkan diri pada Tuhan. Selama sebulan penuh ayah saya membaca Al-Quran. Ayah saya berusaha untuk mengkhatamkan Al-Quran selama satu bulan. Diakuinya bahwa getaran-getaran dari ayat-ayat yang dibacanya mulai masuk kedalam hatinya. Lambat laun ia mulai ikhlas dan benar-benar merasa plong terutama setelah mengkhatamkan Al-Quran.

Pengalaman spritual tersebut kerap kali ayah saya bagikan kepada rekan-rekan sejawat yang mengalami kondisi serupa, ditinggalkan oleh orang yang paling disayang. Dan tak sedikit yang merasakan keikhlasan setelah mengkhatamkan Al-Quran. Pedoman hidup orang Islam itu ternyata benar-benar manjur mengobati luka hati.

Ikhlaskan Kepergian Orang Tersayang Dengan Mendekatkan Diri Pada-Nya

Dari dua pengalaman tersebut terus terang saya sudah harus siap kapan saja. Entah itu ditinggalkan anak, istri, orang tua, ataupun keluarga lainnya dengan selalu kembali kepada-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Obati luka hati dengan kitab suci.

Sesungguhnya apa yang kita miliki di dunia ini hanyalah titipan dari Tuhan. Kecenderungan manusia memang mencintai anak, istri, harta, mobil mewah, tanah luas, kebun dan sawah yang sesemuanya itu sewaktu-waktu bisa diambil tanpa sepengetahuan kita. Dia tidak perlu meminta izin kepada kita karena semua itu bukan milik kita. Itu semua semata-mata hanya milik-Nya. Dan terkadang ketika salah satunya diambil dari sisi kita, bisa jadi itu adalah teguran dan ujian dalam kehidupan kita. Sejauh mana kita bisa siap hanya bisa dibuktikan dari sekarang.

Jika ditanya apakah saya siap jika sewaktu-waktu anak saya di ambil? Terus terang hati ini memang bilang tidak siap, tidak sanggup, tidak rela dan tidak ridho. Tapi mau bagaimana lagi selain pasrah dan percaya pada kuasa Ilahi. Pasti ada rencana yang lebih baik dari kehilangan seseorang yang kita sayangi dan kita cintai.

Saya merasa berempati ketika ada salah satu korban balita kecelakaan di Tugu Tani. Sungguh saat itu saya menangis meneteskan air mata ketika ayahnya yang tidak sadar bahwa anaknya sedang dalam sakarotul maut. Ayahnya mengira dia hanya pingsan biasa sehingga mencoba memberikan sebotol susu. Seketika itu hati saya menjerit dan mengingat anak saya dirumah. Mulai dari kejadian itulah saya mengingat-ngingat dua kejadian diatas yang telah saya ceritakan. Dengan kejadian itu saya mulai memantapkan hati dan menguatkan diri.

Dengan demikian setiap detik dan setiap waktu ketika saya bercengkrama dengan anak saya, saya mulai menikmatinya dan berusaha untuk membuat momen-momen tersebut lebih berkualitas. Terutama untuk menyiapkannya lebih mandiri jika terjadi hal-hal pada diri saya. Saya pun sering sekali mewanti-wanti pada istri saya untuk lebih siap, mandiri dan tegar jika suatu saat nanti sayalah yang mendahului mereka berdua ke alam kubur.

Impian saya hanya satu, impian saya sama seperti Shikamaru dalam cerita komik berasal dari Jepang Naruto. Sikamaru ingin menikah, mempunyai anak kemudian hidup bahagia hingga tua. Shikamaru ingin meninggal lebih dahulu ketimbang ditinggalkan kedua orang yang dia cintai. Karena ia merasa kurang yakin bisa bertahan hidup jika kedua orang yang dicintainya meninggalkannya lebih dahulu. Shikamaru khawatir jika dia menjadi gila. Bedanya saya telah menyiapkan pedoman hidup saya sebagai obat hati agar tidak menjadi gila.

Serpong

Follow @gurubimbel

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun