Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sarjana Kijang Innova

21 Maret 2012   08:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:40 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu punya duit gak buat kuliah?" tanya bapakku.

"Yah pak, duit dari mana? Makan aja kita masih susah!" Jawabku.

"Lah itu kamu tahu, bapak udah gak punya duit le buat kuliahin kamu. Mending kamu cari kerja aja bantu-bantu bapak di Pasar"

Percakapan itu rasanya bikin hati ini eneg banget. Abis lulus sekolah capek-capek ikutan UN segala, eh giliran buat kuliah gak punya duit. Kalo mau jujur, anak miskin di sekolahku itu juga banyak. Ada beberapa diantaranya yang pinter-pinter. Yah tapi kayaknya setelah mereka lulus sekolah paling-paling kerja jadi SPG, montir. Paling keren ya dilamar juragan ojek.

Bapakku emang cuma pedangang kecil di pasar. Penghasilannya tak tentu. Kadang itu juga di palakin sama preman pasar yang tatoan dan berseragam. Belum lagi aksi dukun-dukun tengik kiriman kompetitor yang bikin dagangan bapakku rada seret.

Kayaknya mimpi kuliah itu harus ku tahan sampe ubun-ubun aja deh. Apalagi kalo sampe ngimpi bisa kuliah di kampus favorit, ah jangan sampe deh. Gak kebayang berapa banyak biaya yang harus di tanggung.

Kemaren kebeneran banget salah seorang guru di sekolah nerangin tentang biaya kuliah di ITB. Kebetulan dia punya beberapa teman juga yang pernah kuliah di ITB. Banyak yang udah sukses di perusahaan nasional dan multi level nasional. Eh kok kayak MLM sih ihhihih. Kurang lebih gini lah ceritanya tentang berapa banyak biaya yang harus ku tanggung.

"ITB saja harus nombok biaya operasional sebesar 75 persen dari SPP mahasiswa. Sisanya yang 25 persen didapatkan dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari sumbangan orang tua mahasiswa juga."

"Lah ini sumbernya mahasiswa dan orang tua semua dong kalo gitu?" tanyaku memburu.

"Dana subsidi dari pemerintah katanya cuma cukup buat bayar listrik! Jadi orang miskin gak usah banyak protes! PAHAM!" jawabnya rada kesel.

"OMG, kok segitunya sih!" balasku.

"Lah emang kenyataannya gitu mau diapain?" timpalnya tak mau kalah.

"Trus..trus...berapa sih SPP di ITB?" tanyaku sambil mencatat di beberapa kertas yang kusiapkan sejak tadi.

"Sekarang SPP di ITB itu bisa sampe 10 juta per-semester. Jadi selama satu tahun harus punya doku sebesar 20 juta. Kalau lulusnya diperkirakan 5 tahun ya siapin aja 100 juta. Itu baru SPP lho!" Terangnya bak seorang dosen padahal cuma guru sekolah doang di pinggiran kota yang menurutku jauh dari peradaban.

"Lah emang ada biaya apaan lagi sih?"

"Tenang coy, ente kudu nyiapin dana 55 juta buat dana selamat datang." jelasnya sambil ngikik.

"Whaaattt? yang ada juga kalo datang itu disambut dengan minuman dingin, bukan malah disuruh bayar." ledekku.

"Konon ada loh orang tua mahasiswa yang nyumbang 1 Emmmmmmmpanggg. Syukurlah ada yang begitu dermawan sama ITB. Tapi sumbangan itu gak bakal ngaruh sama hasil tes. Kalau memang nilai tes siswanya jeblok ya tetep gak bisa masuk."

"Ini yang patut di apresiasi dari ITB." batinku.

"Jadi kalau mau nyumbang pilih dana yang paling minim aja. Kalau kebetulan dana sumbangannya berlebih, bagusnya sih sumbangin aja ke Pesantren, Panti Asuhan dan Panti Jompo yang lebih membutuhkan." katanya sambil membetulkan kacamatanya yang tidak miring.

"Tapi jangan khawatir dulu, ada kok beasiswa dari ITB. Beasiswanya macem-macem. Ada yang dikasih keringanan SPP bahkan ada yang dibebaskan dari SPP sampai lulus. Yah tapi ente kudu bener-bener pinter dan bisa bersaing dengan calon mahasiswa miskin lainnya. Mahasiswa miskin dan pinter itu banyak lho. Sayang aja yang masuk pas-pasan dan kebetulan punya modal juga gak sedikit."

"Ah gak papa lah yang penting mereka udah lulus tes toh gak jadi soal kan?" tanyaku sedikit gaya.

"Kata salah satu alumnus ITB yang gak mau disebutin namanya bilang "ITB sekarang udah beda. Mahasiswanya bikin geng-geng sendiri." "Dulu kita bisa belajar dan diskusi barang, sekarang ya tergantung ente punya apa" begitu tuturnya. "Kalo ente kebetulan punya mobil keren ada geng mobil keren, kalo kebetulan jago basket ada geng olahwagawan" "Yah pokonya gitu deh, ITB sekarang udah beda dengan ITB dulu. Kebanyakan orkaynya sih sekarang"

"Cuma belom ada aja geng Boy Band Ngondek, kayaknya kalau ente masuk ITB cocok deh!" tambahnya sambil nyengir kuda.

"KAMPRET!!!" batinku sambil meremas kertas yang sudah kupenuhi coretan angka.

Dari percakapan itu kita-kita yang miskin jadi mikir. ITB kayaknya bukan mencetak sarjana yang ahli di beberapa bidang. Melainkan juga mencetak S.Ki aka Sarjana Kijang Innova.

Abis wisuda cari kerja buat bayar kreditan kuliah. Kalau lulus selama lima tahun tanpa ngulang aja udah 155 juta itu belum di tambah biaya makan, kost, buku-buku, nonton di bioskop, ngedate, nyewa warnet de el el aahhh puyeeeenggggg.

"Gubrak!!!!"

Ternyata aku jatuh dari ranjang. Kutatap dengan seksama ternyata aku sukses membuat beberap pulau di bantal. Setidaknya merasakan kesuksesan lah.

Sumber berita : JPNN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun