Pada saat mencapai bagian belakang perumahan kami bertemu dengan sebuah keluarga yang tampak sedang menikmati makan siangnya. Agaknya mereka terlambat makan siang karena saat itu jam sudah menunjukkan hampir pukul 15.00 sore. Bagi mereka tak ada lagi makan siang di dalam rumah, untuk makan siang saja mereka harus berada di atas perahu karet.
Perumahan ini nyaris kosong karena di tinggal pengguninya mengungsi, hanya berberapa warga yang memiliki rumah bertingkat saja yang masih bertahan, tutur petugas kepolisian yang bersama kami. Mereka lebih memilih tidak di evakuasi ke pengungsian. Tapi, bagaimanapun kondisi mereka serba sulit karena terisolasi. Mereka yang bertahan tentu akan sangat kesulitan mendapatkan air bersih.
Dalam kondisi banjir, perahu karet memiliki peran yang sangat vital. Maka ketika perahu karet sangat terbatas, beberapa warga berinisiatif membuat dan menggunakan perahu sendiri yang terbuat dari bambu. Mereka menggunakan rakit ini untuk pulang pergi dari pengungsian menuju rumah mereka yang ditinggalkan. Sebagus apapun mobil atau motor tidak akan berfungsi dalam kondisi banjir seperti ini. Mereka hanya bisa mengandalkan rakit. Kayuhan bapak ini contohnya menyiratkan optimisme bahwa banjir pasti berlalu.
Beberapa warga terlihat mengais-ngais harta benda yang masih bisa diselamatkan. Sementara harta lainnya yang terbawa arus mereka ikhlaskan begitu saja. Karena mereka pikir sudah tidak ada gunanya lagi mengejarnya. Ketegaran terlihat dari wajah mereka yang terlihat lelah. Senyum mereka membuat saya yakin bahwa mereka memiliki semangat juang yang tinggi.
Sebagian anak-anak tetap bersekolah meskipun harus menyebrang menggunakan perahu karet dan menerjang banjir. Demi mengikuti ujian tengah semester mereka bergelut dengan kondisi yang memprihatinkan. Terlambat sudah pasti karena harus bergiliran menunggu perahu karet yang sangat terbatas mengantar hilir mudik dari tepian jalan hingga ke tengah perumahan yang tergenang. Beberapa warga yang rumahnya terisolasi terlihat membawa bahan kebutuhan pokok untuk persediaan makan. Mereka berbelanja kebutuhan pokok seadanya. Yang penting bisa menegakkan tulang belakang.
Jangan tanya dedikasi petugas kepolisian yang bertugas disini. Dengan wajah timur dan logat timur yang kental mereka siap sedia selalu menolong warga. Peluh bercucuran tak pernah mereka hiraukan. Sementara rekan-rekan lainnya bergantian menunggu pos jaga beberapa truk yang di siagakan di tepian jalan. Barangkali disitulah para petugas ini tidur dan meluruskan badan. Seharian tak kenal waktu hilir mudik mengantarkan warga dengan menggunakan perahu karet. Kadang mereka harus mengayuh kadang mereka bisa santai sejenak berkat motor penggerak yang mendorong perahu karet dengan sangat lambat.
Banyak hikmah yang bisa diambil oleh murid-murid saya. Mereka akhirnya menyadari bahwa orang lain harus berjibaku berjuang untuk sampai ketempian demi sebuah pendidikan. Mereka harus setiap hari menderita di tengah banjir yang melanda. Tatapan murid-murid saya sepertinya hampa ketika melihat kondisi banjir yang memprihatinkan. Memang tidak semua korban mengeluh, bahkan ada beberapa anak-anak korban banjir yang suka cita berenang berhari-hari dalam kolam renang dadakan. Mereka berkeras bermain dalam kubangan sementara orang tuanya khawatir mereka sakit. Apadaya, orang tua tak bisa berbuat apa-apa ketika anaknya menemukan habitat aslinya.
Menurut pengurus warga, bantuan dari pemerintah kota sudah datang. Bahkan wali kota sudah meninjau kondisi banjir dan pengungsi di lapangan meskipu hanya sebentar. Dapur umum telah didirikan meskipun hanya nasi telur yang selalu menjadi menu utama sehari-hari mereka. Inilah salah satu potret bencana yang dialami oleh saudara-saudar kita di Tangerang Kota.
Salam Hangat
@DzulfikarAlala
nb: semua foto adalah dokumentasi pribadi