Setelah puas mengelilingi puri taman Saraswati akhirnya saya kembali ke Candi Ceto untuk melihat aras tertinggi atau teras yang paling puncak. Disinilah konon selain masih aktif digunakan sebagai tempat ibadah/berdoa umat Hindu juga digunakan sebagai tempat semedi atau penyucian diri beberapa orang yang menganut Kejawen. Bangunan yang mirip dengan setengah piramida ini ternyata puncaknya di lingkari bendera merah putih.
Melihat tangga yang tinggi menjadikan Candi ini seperti berada di atas awan. Lihatlah bu ngesti, bang Ben, dan pak Thamrin Sonata seperti berada di khayangan dan sedang memandang bumi. Terus terang baru pertama kalinya saya menemui Candi dengan suasana pegunungan seperti ini. Maka momen yang langka ini betul-betul kami manfaatkan untuk mengeksplorasi setiap sudut candi Ceto.
Lihatlah pak Thamrin Sonata yang duduk terpekur melihat kabut mengelilingi kawasan Candi Ceto ini. Seperti anak muda yang sedang memikirkan kekasihnya hahahahaha. Sumpah, tempat ini highly recommended bagi mereka yang suka dengan suasana pegunungan. Wisata puncak sekaligus wisata sejarah. Tak ayal memang tak jarang saya menemukan muda mudi memadu kasih di areal kawasan Candi Ceto.
Sebetulnya masih ingin rasanya duduk berlama-lama di Candi Ceto ini sambil menyeruput kopi panas di samping mbak Ika dan mbak Agatha, apa daya itu hanya mimpi hahahaha karena kami sudah di tunggu mereka berdua untuk minum teh di Rumah Ndoro Donker.