[caption id="" align="aligncenter" width="573" caption="Sejumlah pelajar melewati sebuah SPBE di Jl. Parakan, Pamulang, Tangerang Selatan (dok.pribadi)"][/caption]
Bagi keluarga muda yang baru memiliki satu orang anak seperti keluarga saya, nampaknya gas 3kg bersubsidi adalah pilihan yang rasional. Mengapa? Pertama, saya jarang masak di rumah, maklum-lah kuli yang mencari nafkah dari pagi dan baru pulang sore hari kadang sampe menjelang maghrib. Kedua, karena jarang masak dirumah sehingga lebih sering makan diluar. Ketiga, gas bersubsidi 3kg sangat enteng di bawa kemana-mana sehingga jika kehabisan, cukup ditenteng saja tanpa harus menggunakan kendaraan atau alat bantu untuk mencari isi ulangnya. Dengan alasan tersebut, saya merasa sudah sangat pas sekali dengan gas yang sering disebut sebagai gas melon karena berwarna hijau berbentuk bulat seperti buah melon.
Sehari-hari kebutuhan gas dipergunakan hanya untuk merebus air, merebus mie instan atau spagetti, merebus teh atau kopi, paling banter seminggu sekali masak beberapa makanan dan sayuran terutama pas menjelang tanggal tua hihihi. Dengan kebiasaan kaum urban dengan kepadatan aktivitas di luar rumah tersebut, walhasil gas 3 kg bisa awet sampai dengan 3 pekan. Wajar! Dipakainya juga jarang-jarang.
Dari contoh perilaku keluarga muda dengan anggota keluarga yang masih sedikit cukup menggambakan apa yang menjadi hasil penelitian Nielsen yang menunjukkan bahwa pengguna gas 12kg hanya sekitar 16% saja di perkotaan dan sisanya 4% masyarakat di Pulau Jawa. Jadi tak perlu heran, menurut prediksi kasar saya, jika konsumsi gas 3kg pada masa mendatang bisa jadi akan semakin meningkat dengan adanya bonus demografi penduduk. Akan semakin banyak keluarga muda yang sibuk bekerja, lebih sering makan diluar dan walhasil merasa cukup safe dengan gas 3kg saja.
[caption id="" align="aligncenter" width="315" caption="dok.pertamina"]
Namun demikian jika di klasifikasikan siapakah sebetulnya yang lebih tepat harus menggunakan elpiji 12kg sudah sangat jelas terlihat dari gambar diatas. Keluarga dengan tingkat pendidikan tinggi antara SMA-S1, memiliki perangkat komputer/laptop, memiliki lemari pendingin, menggunakan air minum isi ulang bermerek merupakan target pasar yang perlu di benahi mentalnya. Mengapa perlu dibenahi mentalnya? Kesadaran masyarakat jelas masih rendah dalam menggunakan gas non subsidi 12kg. Bukan berarti mereka tidak mampu dan tidak mau beralih. Misalnya seperti saya yang lebih memilih gas 3kg dengan alasan praktis dan penggunaan yang jarang, perlu juga di akomodasi. Pasalnya mengangkut gas 12kg pun bukan persoalan yang mudah terutama jika di rumah tidak memiliki gas cadangan.
Contohnya bulan puasa lalu, saya sempat kehabisan gas saat menjelang imsak. Padahal saat itu harus tetap sahur demi menjaga stamina saat berpuasa. Warung depan rumah tutup, akhirnya saya terpaksa mencari ke mini market yang buka 24 jam. Namun hasilnya nihil, gas 3kg maupun gas 12kg habis. Padahal saya sudah mencari hingga ke tiga mini market berbeda. Akhirnya jalan pintasnya adalah mengetuk rumah mertua untuk meminjam gas hanya demi meyiapkan sahur saja. Bayangkan jika dalam kondisi seperti itu saya harus berjibaku menggunakan sepeda motor mencari kesana kemari gas 12 kg? Tentu saya lebih memilih melambaikan tangan keatas tanda menyerah dan butuh pertolongan.
Suka tidak suka, alasan praktis lebih masuk akal untuk dijadikan alasan untuk tidak beralih (bagi saya). Namun, sebetulnya PERTAMINA bisa mensiasati misalnya dengan mengeluarkan varian non-subsidi dengan kapasitas 6 kg misalnya. Dengan begitu, lambat laut konsumen gas 3kg yang sebetulnya mampu dari segi ekonomi akan cenderung memilih gas yang isinya sedikit lebih banyak namun tetap tidak menghilangkan alasan kepraktisan. Dijamin deh, keluarga muda bukan berarti tidak sanggup beralih ke gas 12kg, tapi tau sendiri kan gotong gas 12kg yang masih terisi full dengan yang sudah kosong bobotnya jelas jauuuhhh berbeda. Inilah alasan mengapa kadang saya merasa masih berat untuk beralih ke gas 12 kg. Perkara praktis di zaman instan seperti ini sudah menjadi DEWA yang dijadikan pilihan utama. Ingin simple apalagi murmer, memang sudah karakter manusia (Indonesia). Tapi lambat laun dengan pemahaman dan pendidikan kepada keluarga muda terdidik ini dijamin mereka akan dengan senang hari berpindah ke gas non subsidi.
[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="dok.http://faisalbasri01"]
Jika dibandingkan dengan negara tetangga pendapatan perkapita nasional Indonesia masih lebih kecil. Artinya harga elpiji rendah memang sudah sesuai dengan daya beli masyarakat. Namun yang menarik justru harga gas di India relatif tidak terlalu tinggi selisihnya dengan harga gas di Indonesia. Tetapi seperti kita ketahui, insentif pendidikan di India lebih besar, bahkan harga buku pun sangat murah. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah meskipun harga gas sedikit lebih mahal, namun alokasi subsidi di poskan pada sektor yang lebih membutuhkan. Seperti kita ketahui saat ini pendidikan di Indonesia terutama pendidikan tingkat tinggi mengalami lonajakan yang gila-gilaan, belum lagi dengan harga bukunya. Oke jika subsidi elpiji bahkan subsidi bbm dikurangi tetapi ada bukti nyata pada sektor lain misalnya kesehatan dan pendidikan yang lebih bisa dirasakan rakyat kecil. Dengan demikian hal tersebut bisa menjadi pembinaan juga bagi rakyat.
[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="dok.http://faisalbasri01"]
Momen Tepat Kenaikan Harga Elpiji, Saat Inflasi Tidak Terlalu Tinggi
Memang pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin membaik dan ditambah lagi dengan bonus demografi, namun disinilah yang sudah diwanti-wanti beberapa pihak, jika Indonesia tidak berkembang dengan signifikan alias stagnan maka kondisinya mungkin akan mirip seperti Brazil. Bisa menyelenggarakan piala dunia yang megah dan mewah ditengah kemiskinan masyarakat kalangan bawah. Jurang ekonomi antara upper middle dengan kaum lower akan semakin berjarak. Inilah yang dikhawatirkan menimbulkan kekacauan ekonomi dalam negeri.
Namun demikian, BI sudah cukup berhasil menjaga inflasi selama bulan Ramadhan sehingga beberapa bahan kebutuhan pokok tidak terlampai jauh mengalami kenaikan. Bahkan untuk menjelang Iedul Adha atau Iedul Qurban, hewan kurban cenderung turun meskipun saat ini rupiah tembus menjadi Rp.12.000. Kondisi demikian memang dirasa cukup pas untuk menaikkan harga gas 12kg secara berkala sehingga mencapai nilai keekonomian pada tahun 2016 nanti.
Komitmen BI dalam menjaga inflasi sangat diperlukan sekali terutama selama rencana kenaikan harga gas elpiji secara bertahap berlangsung. Disinilah tim ekonomi pemerintahan baru jelas akan diuji. Jika gagal dalam mengendalikan harga maka efeknya memang semua orang akan beralih kembali pada konsumsi gas 3kg bersubsidi. Namun jika inflasi bisa terus di kontrol dan dimonitor dengan adanya kerja sama antar daerah yang semakin intens dan meningkat, diprediksi kenaikan gas elpiji tidak akan berdampak jauh pada inflasi.
Kenaikan Elpiji Tak Berimbas Pada Pecinta Kuliner
Kenaikan Elpiji awal September lalu sempat memang menimbulkan sedikit kekhawatiran ketersediaan stock gas 3kg maupun 12kg di lapangan. Alhamdulillahnya kekhawatiran tersebut tidak terjadi. Uniknya kini beberapa pedagang kaki lima di daerah saya malah beralih ke gas 12kg. Alasannya mereka lebih repot menganti gas setiap 3 hari sekali jika menggunakan gas 3kg. Sedangkan dengan gas 12kg, penggantian gas bisa lebih dari seminggu bahkan terkadang bisa sampai seminggu lebih. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran pedagang pun semakin tinggi dalam segi efisiensi waktu, tentunya hal ini berlaku bagi para pedagang yang sudah memiliki pelanggan setia misalnya seperti Cak Leman yang menjual Ayam Bakar Asli Malang di daerah saya di Pamulang, Tangerang Selatan.
Selain menjual ayam bakar, Cak Leman pun menjual ayam goreng, bebek goreng, burung dara, ati ampela yang kesemuanya membutuhkan gas untuk di olah hingga sampai tersaji di meja konsumen. Di Pamulang sendiri kini harga gas 12kg yang tadinya berkisar antara Rp.110.000,- kini menjadi Rp. 125.000,- hingga Rp.130.000,- Cak Leman mengaku tidak merasa kesulitan mencari gas 12kg karena selalu tersedia di agen terdekat langganannya.
Hal ini jelas membantu bisnis dan usaha Cak Leman sehingga tetap menjadi pilihan pelanggan setinya seperti salah satunya adalah keluarga saya. Dari teladan tersebut saya bisa mengambil hikmah bahwa untuk menjadi orang besar kita harus berpikir besar dan berjiwa besar. Maka, jika merasa termasuk kalangan upper middle, sudah sepatutnya beralih dari gas 3kg ke gas 12kg. Inilah salah satu contoh pedagang yang bisa menjadi inspirasi bagi pedagang lainnya. Dengan omset tertentu, sudah selayaknya bisa dikalkulasi mana pedagang kaki lima yang termasuk upper middle atau justru masih lower. Klasifikasi dari sebuah survey jelas sangat membantu dalam mengidentifikasi kelayakan suatu usaha kecil, apakah berhak mendapatkan gas bersubsidi atau tidak.
Lain lagi dengan Cak Leman, ada pedagang Mie Ayam Kurnia di Jalan Siliwangi persis di samping Villa Dago, Pamulang. Ketika ditanya mengapa lebih memilih gas 12kg dibandingkan gas 3kg, alasannya adalah lebih mudah didapat dan tidak repot harus mengganti gas disaat pelanggan sedang ramai-ramainya. Alasan yang kurang lebih senada dengan yang diungkapkan Cak Leman.
Namun, tak perlu heran jika di samping pedagang Mie Ayam Kurnia, ada penjual nasi goreng yang tetap setia menggunakan gas subsidi 3kg. Jika pedagang nasi goreng sehari bisa mendapatkan omset satu juta sih rasanya sudah harus move on juga ke gas 12kg. Biasanya keuntungan bersih yang diperoleh dari bisnis makanan minimal 30% kadang bahkan bisa sampai lebih dari 50%. Maka, setiap pedagang dengan skema omset diatas 1 juta rupiah/hari juga perlu diberikan pemahaman tentang hak dan kewajibannya untuk beralih ke gas yang lebih pas untuk semakin memberikan pelayanan yang baik kepada para pelanggannya. Toh contoh seperti Cak Leman dan Kurnia adalah contoh pedagang yang sudah memiliki mind set yang lebih maju. Inilah yang perlu ditularkan kepada pedagang bahkan konsumen gas elpiji lainnya.
Okelah daya beli masyarakat Indonesia sudah jelas diatas Philipina dan India, maka sudah cukup rasional jika harga gas elpiji 12kg di sesuaikan dengan kemampuan rakyat Indonesia. Namun demikian, jika dibandingkan pula dengan negara diatasnya, uang 1 US dollar di Indonesa akan lebih berharga jika dibandingkan dengan di Singapura. Anehnya kenapa orang Indonesia lebih doyan belanja properti dan oleh-oleh di Singapura dan Malaysia? Jawabannya adalah sekedar menuruti gaya hidup dan pemenuhan gengsi. Akhirnya harus berhemat sana sini meskipun harus menggunakan hak rakyat kecil yang menggunakan gas 3kg bersubsidi.
[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="dok.pertamina"]
Skema-skema kategori mana saja yang lebih berhak menggunakan gas bersubsidi perlu di sosialisasikan ulang, karena bisa jadi masih banyak masyarakat yang memang belum tahu. Disamping itu, Pertamina harus lebih inovatif dan kreatf dalam memenuhi kebutuhan pasar sehingga tidak menjadikan gas 3kg sebagai pilihan utama. Perlu di telaah dan diteliti kembali alasan-alasan dibalik angka 70% yang masih setia menggunakan gas 3kg. Kaum middle upper ini perlu terus di bina dan didik meskipun sudah terdidik, agar barang-barang bersubsidi benar-benar di manfaatkan oleh mereka yang lebih berhak. Jika gaji bulanan masih dibawah UMR, boleh lah menggunakan gas bersubsidi, namun jika sudah masuk kategori upper middle seperti yang telah di sebutkan diatas, maka sudah sepantasnya kaum urban yang masih nguli, beralih atau move on ke gas 12kg.
[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="dok.pertamina"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H