Mohon tunggu...
Fika Fatiha
Fika Fatiha Mohon Tunggu... Lainnya - Beriman, Berilmu, Beramal

Menulis Karena Ga Bisa Menggambar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Disrupsi Generasi Milenial dan Generasi Z dalam Menyikapi Nasionalisme (Refleksi Hari Kebangkitan Nasional)

20 Mei 2022   09:34 Diperbarui: 20 Mei 2022   09:38 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banyak dari kita yang beranggapan bahwa bila belajar mengenai sejarah pasti muak dengan pelajaran tersebut karena merasa perlu banyak hafalan didalamnya. 

Kita beranggapan seperti itu disadari ataupun tidak pada akhirnya membuat kita semakin anti dengan sejarah dan meninggalkan hal yang berbau sejarah untuk fokus ke bayangan masa depan yang semu. Padahal masa depan bisa terealisasi dengan baik bila kita mau belajar dari peristiwa masa lalu.

Ibarat pohon, kita terlalu fokus pada hasil (buah/bunganya), padahal ada yang lebih penting dari hal itu, yaitu akar daripada pohon tersebut. Hal-hal fundamental (akar/pondasi) yang harus diketahui oleh kita salah satunya adalah terkait dengan sejarah.

Bagaimana mungkin kita bisa memiliki buah/bunga yang bagus bila kita tidak memperhatikan akar yang harus tetap kuat. Oleh sebab itu, sebelum berfokus kepada hasil mari kita fokuskan diri kita terlebih dahulu kepada hal yang sifatnya fundamental (akar) untuk kita pelajari bersama agar nantinya bila kita sudah menguatkan dan menyehatkan pondasi/fundamental tersebut, maka kemungkinan besar kitapun akan mendapatkan hasil yang baik.

Dalam kaitannya dengan teknologi, Generasi Menial dan Generasi Z merupakan generasi yang paling di untungkan dalam percepatan perkembangannya. Hal ini menimbulkan dua dampak, yaitu dampak positif dan dampak negatif.

Ada yang bertanya bahwa, di era ini mengapa generasi milenial dan Z selalu di katakan memiliki mental lemah, selalu di katakan mentalnya rapuh, selalu di bandingkan dengan generasi lain, mengapa demikian? 

Sebagai yang lahir di generasi Z (1997-2012) penulis tak menampik bahwa kita ini memang generasi strawberry (mudah rapuh bila di sikat sedikit saja), tapi tak menyalahkan sepenuhnya bahwa Generasi Z seperti itu, Milenial dan Generasi Z persisnya adalah korban dari percepatan teknologi yang tidak di sertai dengan ilmu untuk menggunakannya dengan tepat.

"Tapi, generasi-generasi sebelumnya juga menganggap bahwa mereka adalah korban, generasi baby boomers dll, mereka menganggap bahwa mereka juga korban".

Jika begitu, bila semuanya adalah korban berarti mungkin ada yang tidak kita sadari dari tiap generasi, yaitu sesuatu yang seharusnya dipelajari, salah satunya mengenai sejarah yang harus kita resapi maknanya. Biasanya,dalam pelajaran sejarah, kita selalu skip atau melewatinya untuk berfokus pada sesuatu yang terlihat (hasil).

Kita cenderung banyak berfokus pada bagaimana cara mendapatkan keuntungan materi sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan esensi yang seharusnya terbawa, termasuk salah satunya pelajaran dari sejarah.

Bagi penulis, untuk membandingkan dengan era saat ini, fungsi sejarah dibagi menjadi dua, yaitu: sebagai pengingat agar kita tidak mengulangi hal yang berdampak pada kerugian yang juga terjadi di masa lalu dan sebagai landasan untuk tetap mempertahankan yang baik sesuai dengan tantangan jaman.

Salah satu hal untuk meminimalisir tingkat kesalahan yang besar adalah dengan belajar dari kesalahan yang dialami diri sendiri dan orang lain di masa lalunya. Seharusnya, sejarah bisa menjadi salah satu batasan dan pedoman untuk kita bisa memfilter informasi apa yang seharusnya kita bisa gunakan, salah satu pedoman tersebut adalah mengenai sejarah Kebangkitan Nasional.

Penulis tidak serta merta mengajak pembaca untuk menghafal nama-nama pahlawan yang berjuang di Hari Kebangkitan Nasional, walaupun kita sebagai penikmat kebebasan kemerdekaan sampai hari ini wajib tetap mendoakan jasa para pahlawan. Yang penulis ingin sampaikan dalam tulisan ini adalah mengenai esensi, makna, dan pembelajaran apa yang bisa diambil agar bisa kita jadikan landasan dalam menjalani kehidupan saat ini.

KEBANGKITAN NASIONAL

Mungkin kita mempertanyakan suatu hal bahwa "mengapa bisa Indonesia di jajah begitu lamanya oleh Negara-negara Eropa padahal jumlah massa kita banyak? Apa mungkin semua masyarakat Indonesia setidak tahu itu tentang penindasan yang terjadi (tidak sadar akan penjajahan yang di alami)? Apalagi sudah ada agama di Indonesia yang memberikan pembelajaran bahwa kita tidak boleh pasrah sebelum berjuang..

Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan jawaban "ya, benar" massa (jumlah) kita lebih banyak dari penjajah, tapi jumlah massa yang banyak tentu tidak bisa dijadikan alasan untuk bisa menang. 

Mungkin percuma bila massa banyak tetapi jika tak satupun ada orang inisiatif yang berpengetahuan untuk menyadarkan bahwa Indonesia sedang di jajah, maka jangan heran bila mengapa kita begitu lama dijajah karena ternyata kita tidak cukup sadar bahwa kita pernah dalam situasi yang sulit namun kita tetap menikmati hal tersebut.

Maka dari sini kita belajar perlunya banyak ilmu pengetahuan untuk memecahkan suatu permasalahan yang terjadi, dan ilmu itu musti kita bagikan kepada mereka yang perlu untuk mengetahuinya. 

Bayangkan bila ilmu pengetahuan tersebut tak pernah di bagikan dan manfaatnya hanya di rasakan oleh sendiri, mungkin kita tak pernah bisa menikmati kenyamanan terang di malam hari dari Thomas Alva Edison dengan penemuan lampunya.

Tapi tidak semua orang Indonesia setidak tahu itu tentang kesadaran bahwa kita ini sedang di jajah. Buktinya banyak perlawanan yang muncul dari daerah, seperti Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Cut Nyak Dien di Aceh, Tuanku Imam Bonjol di Sumatra Barat. Tapi semua perlawanan yang dilakukan di daerah itu tak banyak membuahkan kemenangan, alasannya karena perlawanan kita yang masih bersifat kedaerahan (masih masing-masing), sifat kita yang mudah terprovokasi (mudah di adu domba) dan mungkin memang senjata kita yang kurang modern dibanding mereka. Oleh sebab itu kita masih tetap kalah walaupun melawan.

Pelajaran yang dapat diambil dari sini yaitu pentingnya kita perlu menyamakan persepsi, tujuan, dan cita-cita untuk bersatu. Cita-cita yang sama pada saat itu adalah cita-cita tentang kemerdekaan. Maka bila sudah menyamakan persepsi dan cita-cita, semakin kita bersatu semakin kuat pula kita untuk bisa melawan penjajahan dan meraih kemerdekaan.

Ketika berbagai macam upaya telah di lakukan tetapi belum membuahkan hasil kemerdekaan, maka pasti ada strategi yang harus di ketahui untuk melerai penindasan tersebut. Strategi tersebut adalah berupa pendidikan, pengajaran dan memupuk kesadaran nasionalisme bangsa, inilah strategi yang di lakukan oleh salah satu Pahlawan kebangkitan nasional yaitu dr. Wahidin Sudirohusodo.

dr. Wahidin Sudirohusodo begitu akrab dengan rakyat kecil, bahkan banyak rakyat yang berobat kepada dr. Wahidin tanpa bayaran sepeserpun. Kecintaanya dalam membantu rakyat tidak serta merta memuluskan niatnya untuk memperluas pengajaran pendidikan untuk rakyat. 

Ketika Beliau menganjurkan rakyat menyumbangkan materinya untuk membiayai pendidikan bagi anak muda, ternyata banyak rakyat maupun tokoh masyarakat yang enggan untuk menyumbangkan materi dan tidak antusias dengan anjuran tersebut. 

Mungkin pada saat itu orang-orang bersepakat bahwa pendidikan belum tentu bisa menghasilkan uang yang banyak, jadi, untuk apa Ber-Sekolah tinggi-tinggi bila ternyata mereka tidak bisa berpenghasilan yang layak.

Saat mengalami berbagai penolakan tentang idenya, akhirnya dr. Wahidin-pun bertemu dengan pelajar STOVIA (Tempat dr. Wahidin mengenyam Pendidikannya dulu). Pelajar yang di temui dr. Wahidin itu bernama Sutomo. Sutomo yang menyetujui dan sepakat dengan gagasan/pemikiran yang dr. Wahidin ungkapkan akhirnya Sutomo-pun membuat organisasi yang bernama Boedi Oetomo bersama rekan-rekannya. 

Tujuan didirikan awalnya adalah untuk memberikan gerakan kesadaran tentang pentingnya pendidikan, walaupun pada akhirnya setelah ditelusuri organisasi Boedi Oetomo hanya memberikan pengajaran tentang pendidikan kebanyakan kepada Bangsawan, tetapi walaupun begitu  tidak serta merta membuat organisasi Boedi Oetomo tidak menjadi pelopor adanya organisasi yang membangkitkan sikap nasionalisme.

Sosok dr. Wahidin sebagai penggagas ide-ide mengenai pendidikan dan sosok Sutomo yang menyetujui dan menyepakati gagasan dan ide tersebut lalu diwujudkannya dalam pendirian organisasi Boedi Oetomo menjadikan dua tokoh ini merupakan tokoh yang sentral dalam bukti adanya kebangkitan nasional. Oleh sebab itu hari kebangkitan nasional diperingati setiap tanggal 20 Mei bertepatan dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo.

Kebangkitan nasional tidak hanya di definisikan sebagai hari persatuan, tetapi di definisikan juga sebagai hari bangkitnya kesadaran masyarakat melalui pendidikan untuk memiliki cita-cita bersama dalam merebut kemerdekaan. Peran berdirinya organisasi Boedi Oetomo adalah mengubah cara berjuang rakyat Indonesia dari perjuangan fisik kepada cara perjuangan melalui pendidikan.

Kemerdekaan diraih dengan tidak menghilangkan norma atau identitas bangsa itu sendiri. Kemerdekaan diraih dari hasil menggali identitas dan pemikiran bangsa yang kemudian diperjuangkan, dipertahankan dan di sosialisasikan untuk diterapkan di kehidupan sehari-hari. 

Mempertahankan identitas bangsa sebagai bangsa yang beradab dan memiliki cita-cita yang sama yaitu kemerdekaan di buktikan juga perjuangannya dengan terjadinya peristiwa sumpah pemuda (1928) dan perumusan Pancasila (1945).

Kebangkitan nasional yang di mulai dari tahun 1908 sampai dengan kemerdekaan Indonesia yang di cetuskan pada tahun 1945 tentu bukan sesuatu yang sebentar. Semenjak ada era kebangkitan nasional, butuh waktu 37 tahun lebih untuk menggali apa yang sudah seharusnya di lakukan Indonesia dalam mencapai cita-cita kemerdekaan. 

Ini membuktikan pula bahwa tidak ada sesuatu yang instan dalam mencapai hal apapun, maka hargailah setiap proses yang ada dengan tidak mengglorifikasi harus selalu cepat-cepat dalam mencari keuntungan misalnya.

Bila kita baca sekilas fakta sejarah tersebut dan membandingkannya dengan Generasi Milenial dan Z secara apple to apple tentu tidak wajar dan bijak, karena massa generasi milenial dan Z berbeda dengan jaman dahulu yang belum memiliki teknologi dan informasi yang serba cepat dan canggih. Oleh sebab itu apa sebenarnya disrupsi Generasi Milenial dan Z dalam menyikapi pentingnya nasionalisme ini?

Disrupsi yang dilakukan oleh Generasi Milenial dan Z, atau mungkin sebetulnya  terjadi juga di era sebelumnya namun tak begitu terlihat, disrupsi tersebut adalah mengenai sikap generasi milenial dan Z yang menganggap bahwa sesuatu yang asalnya dari luar baik itu mengenai teknologi, style, fashion, pemikiran, gaya hidup maupun tentang pergaulan, mereka menganggap negara di luar Indonesia lebih unggul dan kekinian di banding kan dengan yang dimiliki oleh kita.

Kita sepakat bahwa negara-negara Barat di Eropa dan Amerika lebih unggul dalam segi teknologi dll. Tetapi kita jangan terjebak dalam romantisme percepatan teknologi tersebut. Kita sebagai negara yang umumnya konsumtif terkait teknologi dan mereka sebagai negara yang produktif, menjadikan bangsa kita adalah bangsa dengan target pasar yang begitu empuk untuk di permainkan.

Dengan kita yang hanya selalu bergantung kepada gadget (tanpa ada nilai positif dalam penggunaanya), menjauhi sikap sosialisasi, tidak mau lagi tolong menolong dan mengklaim bahwa diri kita anti sosial padahal belum pernah mengecek kepada ahlinya bahwa memang kita anti sosial (hanya bisa mengklaim dan menduga-duga), berarti tanpa kita sadari, mereka (pembuat teknologi tersebut) telah berhasil menanamkan sifat konsumtif yang terus-terusan kepada kita dalam belenggu teknologi. 

Secara tidak langsung, kita yang merasakan dampak kerugiannya dan mereka mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Inilah ironi yang tak banyak orang sadari.

Orang jaman dahulu sibuk menggali apa saja identitas bangsa yang musti di angkat dan dipertahankan, kita di jaman sekarang malah sibuk mengglorifikasi pemikiran-pemikiran tak bernorma yang bahkan sangat di bangga-banggakan padahal sebenarnya merugikan. Inilah ironi kita saat ini.

Oleh sebab itu mari mulai mengenali bangsa kita agar tidak terjebak pada sesuatu yang menjerumuskan kita ke dalam kerugian dunia dan akhirat. 

Bangsa ini memiliki norma, ada norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, norma hukum dll., mari kita pelajari dan bersikap sesuai norma kembali agar kita tahu mana batasan pemikiran luar yang bisa diambil (yang sejalan dengan norma) dan mana batasan pemikiran luar yang tidak harus diambil (dibuang/dibiarkan/di block).

Bila kita sudah melakukan hal tersebut maka kita tidak hanya bisa mengenali diri sendiri, tapi kita bisa mengenali bangsa ini, bangga akan kekayaanya, mempertahankan apa yang seharusnya perlu di pertahankan tetapi kita juga tidak menutup diri dengan dunia luar untuk mengambil hal yang baik dari sana.

Maka kemudian Disrupsi sikap nasionalisme akan semakin nyata bila kita tidak memprioritaskan dan mengglorifikasi hal yang fundamental (akar) mengenai pentingnya sikap mempelajari dan menjalankan sifat nasionalisme tersebut. Kunci strategi untuk kembali merajut sifat nasionalisme sudah di gagas oleh dr. Wahidin Sudirohusodo, yaitu dengan Pendidikan, Pengajaran dan Menumbuhkan Kesadaran Bangsa.

 Maka, penting untuk kita sebagai rakyat yang memiliki pengetahuan tentang pentingnya sikap nasionalisme yang harusnya memberikan pengetahuan tersebut kepada minimal orang-orang terdekat, dimulai dari hal yang kecil dengan begitu kita pun mudah-mudahan tidak akan terjebak pada pola atau dampak negatif percepatan teknologi itu sendiri.

Bila Milenial dan Generasi Z di Indonesia telah memegang kendali teknologi yang sering digunakan bagi masyarakat, maka jangan orientasikan hasil pemikiran kita untuk semata-mata hanya menginginkan keuntungan materi belaka, tapi orientasikan lah apa yang kita buat untuk kemashlahatan bangsa, baik dari segi ilmu pengetahuan, teknologi dan lainnya. 

Buatlah algoritma yang tidak hanya sekadar ingin menonton apa yang mereka inginkan, tapi jejali dengan tontonan apa yang mereka butuhkan untuk bekal dunia dan akhirat.

Jika dilakukan demikian, Indonesia Emas 2045 bukan hanya lagi sekadar kampanye dan angan-angan belaka, tetapi memang bisa dibuktikan secara nyata, pembuktian tersebut mari mulai di hari ini. Karena kita di hari ini adalah akumulasi kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan di masa lalu. 

Bila orientasinya masa depan berarti kita di masa depan adalah akumulasi dari kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan di hari ini. Maka jangan terjebak trauma masa lalu, dan jangan terjebak pada angan-angan masa depan yang semu. Mulailah bergerak dan hidup untuk hari ini.

Wawlohualam Bissowab

*Tulisan Ini Di Kutip Dari Berbagai Sumber*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun