Berbagai macam pendapat ataupun argumentasi terhadap seseorang mengenai dirinya yang blak-blakan (apa adanya) dan memfilter diri akhir-akhir ini sering kali marak di perbincangkan. Hal ini tidak lain karena adanya orang-orang yang terlihat baik, entah itu di dunia nyata maupun di dunia maya pada akhirnya terjerat kasus yang merugikan. Orang yang terlihat maupun membranding dirinya alim di dunia nyata dan di dunia maya juga melakukan hal tersebut dengan merendahkan orang lain yang menurutnya salah.
Akibat fenomena tersebut, tingkat kepercayaan terhadap orang yang ‘terlihat baik’ cenderung di curigai. Ada juga orang yang berargumen bahwa lebih baik berteman dengan orang yang blak-blakan (apa adanya) dibanding dengan orang yang terlihat baik. Bahkan menurut mereka, kita mesti curiga dengan orang yang terlihat baik dan alim tersebut lantaran bisa jadi malah menusuk kita dari belakang (lebih menyakiti kita tanpa kita sadari). Lantas apakah argumen tersebut salah? Benarkah kita harus demikian?
Agar tidak terjadi perdebatan yang panjang, maka penulis perlu menyampaikan definisi blakblakan (apa adanya) dan memfilter diri terlebih dahulu yang harus kita sepakati bersama sebelum kita berpendapat mana yang seharusnya kita gunakan.
- Blak-blakan (Apa adanya)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata blakblakan adalah tidak ada yang ditutup-tutupi atau disembunyikan. Arti lainnya dari blakblakan adalah terus terang. Blak-blakan (Apa adanya) merupakan sikap maupun seseorang yang biasanya to the point bila melihat sesuatu, artinya, orang semacam ini benci akan adanya kemunafikkan dan ketidakjujuran. Apakah hal tersebut salah? Tentu saja tidak, apalagi sifat jujur merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki oleh setiap manusia.
Rasulullah S.A.W bersabda,
“Kejujuran menuntun pada kebajikan, kebajikan dapat mengantarkan ke surga. Sesungguhnya kebohongan itu menyeret manusia kepada kejahatan, kejahatan itu dapat menyeret pada neraka.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Berarti di sini orang yang blak-blakan adalah orang yang jujur dan tidak menutup-nutupi sesuatu bahkan dianjurkan oleh Rasulullah. Tetapi, kita melihat sebuah fenomena bahwa ada hal-hal yang menciderai sifat apa adanya ini. Seperti yang kita ketahui manusia di muka bumi ini tidak hidup sendiri, kita hidup berdampingan dengan makhluk lainnya yang memiliki latar belakang yang berbeda, otomatis apa yang di sampaikan olehmu belum tentu diterima baik oleh manusia.
Lalu apakah artinya seorang muslim tidak boleh berbohong (harus blak-blakan)? Tentu tidak. Rasulullah S.A.W membolehkan berbohong untuk tiga alasan atau situasi tertentu, yaitu berbohong ketika peperangan, berbohong untuk mendamaikan perselisihan dan berbohongnya suami untuk menyenangkan istri (H.R Ahmad). Namun dengan begitu Rasulullah tetap menghindari bohong, bahkan yang bagi kita dianggap berbohong untuk kebaikan.
Seperti Negara Indonesia, Negara ini merupakan negara demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan berpendapat (blak-blakan dll.) Tetapi disamping negara demokrasi Indonesia juga merupakan negara hukum, negara yang memiliki norma dan aturan yang sifatnya mengikat dan sudah menjadi identitas bangsa Indonesia itu sendiri. Artinya, hak (kebebasan) yang kamu utarakan itu dibatasi oleh hak orang lain sehingga kebebasan kita tidak bebas secara keseluruhan.
Jadi, sifat blak-blakan tersebut tidak bisa kita gunakan dalam segala situasi, hal ini bisa jadi tergantung dari tingkat kedekatan kita dengan seseorang, mungkin ada orang terdekat kita yang bisa menerimamu blak-blakan apa adanya, tetapi tidak semua orang bisa kamu lakukan seperti itu.
Dan lagi, tidak semua orang mengenal apa itu stoic/stoikisme/stoa yang jika ada berarti orang tersebut tidak akan menjadikan penilaian orang lain sebagai prioritasnya, tidak semua orang itu stoic. Ingat, betapa banyak lisan kita menyakiti hati orang lain akibat perbuatan kita yang menglorify sifat blak-blakan apa adanya, bisa jadi karena kita berprinsip begitu dengan dalih agar tidak munafik betapa banyak orang yang tersakiti karena lisan kita hingga trauma dan secara tidak sadar kita sudah membunuhnya tanpa menyentuh.
Rasulullah S.A.W bersabda:
“Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia selalu mencaci-maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh dan menyakiti orang lain. Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi. Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka.” (HR Muslim)
Di dalam hadist tersebut dijelaskan bahwa mencaci maki, menyakiti orang lain akan dibalas di neraka. Mencaci maki akan membuat sakit hati orang lain dan balasan yang ada adalah neraka jahannam.
Disisi lain orang yang menciderai sifat blak-blakan yang tidak mengerti adanya norma ini di lakukan oleh orang-orang yang membanggakan aibnya. Orang yang membanggakan aibnya (dengan dalih agar terlihat blak-blakan dan apa adanya) begitu banyak disukai oleh khalayak saat ini, mereka menganggap bahwa orang tersebut patut di jadikan contoh karena tidak munafik. Padahal Rasulullah S.A.W bersabda bahwa:
“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari, kemudian di paginya ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu – padahal Allah telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah atas dirinya.” (HR Bukhori Muslim). Rasulullah juga bersabda “Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Pemurah, kekal, dan Maha Penutup, Dia mencintai rasa malu dan sikap sitru (menyembunyikan aib)”. [Riwayat Abu Dawud dan Nasâ-i].
Nah dari sini kita bisa lihat bahwa Allah SWT mencintai orang yang menutupi aibnya. Lantas, apakah aib benar-benar sama sekali tidak boleh diceritakan? Tentunya ini tergantung kebijaksanaan kita dalam menanggapi hal tersebut. Kita boleh saja menceritakan aib kita kepada orang lain tetapi dengan catatan tidak membanggakannya apalagi sampai dengan menormalisasikan orang-orang yang bangga terhadap aibnya untuk dituruti. Ceritakan aib tersebut dengan penuh penyesalan agar menjadi pelajaran bagi kita semua.
Yang seperti kita ketahui di dalam Al-Qur’an juga banyak diceritakan kisah-kisah kesalahan seseorang salah satunya fir’aun (raja-raja Mesir) yaitu merupakan raja yang sangat zalim yang bisa kita jadikan pelajaran untuk hidup kita saat ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa menjadi diri yang blak-blakan (apa adanya) itu perlu, tergantung dari kebijaksanaan kita, apakah orang yang menerima sifat blak-blakan tersebut seberapa tahu dan mengenal tentang kita dan bisa menerima kejujuran yang ada pada penilaian kita ataupun tergantung situasi dan kondisi yang mengharuskan kita untuk jujur ataupun lebih baik diam agar tidak ada hati yang tersakiti.
Begitupun dengan menceritakan tentang aib kita, perlu dengan kebijaksanaan, yaitu menyesali perbuatan tersebut agar orang lain tidak sama dengan yang pernah kita alami. Bisa jadi dari pengalaman tersebut kita bisa menciptakan solusi dan membantu orang lain dalam hal menyelesaikan kesulitannya terhadap kebiasaan buruk (aib) yang dimiliki untuk menuju ke jalan yang lurus dan benar.
- Memfilter Diri
Filter (saring) berarti hanya menampilkan sisi yang menurut kita baik yang ada pada diri kita untuk orang lain. Memfilter diri disini bisa dilakukan oleh seseorang baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Kita mengetahui bahwa tidak ada makhluk yang sempurna di dunia ini, tentunya setiap insan pasti ada yang pernah melakukan dosa begitu pula dengan kebaikan yang didapatnya. Menjadi apa adanya merupakan pilihan, dan memperlihatkan kelebihan (kebaikan) yang ada pada diri juga merupakan pilihan.
Orang yang memfilter diri cenderung takut jika kesalahan yang dia miliki terlihat orang lain, mengapa? Karena takut kesalahan tersebut di contoh oleh orang lain yang melihatnya kemudian dijadikan normalisasi kesalahan oleh mereka secara tidak sadar.
Misalnya, seorang Ustad dikenal merupakan orang yang bisa dikatakan lihai memfilter diri, otomatis banyak orang yang menjadikannya panutan, karena semua orang beranggapan bahwa seorang Ustad merupakan panutan, tetapi orang-orang yang ekstrem (berlebihan terhadap sesuatu) cenderung mengikuti seluruh perbuatannya (entah itu baik ataupun buruk).
Maka dari itu hal ini sangat perlu diluruskan, orang yang memfilter diri bukan berarti orang tersebut lepas dari sifat buruk (atau bahkan sering di ekspektasikan tinggi oleh orang-orang sehingga bila mereka menemui titik lemahnya orang yang berekespektasi ini kecewa atau bahkan cenderung menjadi merendahkan).
Ingatlah bahwa memfilter diri bukan berarti kita suci tanpa dosa, memfilter diri adalah upaya semaksimal mungkin apa yang kita perlihatkan agar tidak dicontoh orang lain, sebaliknya bila kita menemui titik salah orang lain jangan langsung menjudge munafik dan merendahkan, bisa jadi kita hanya perlu mengingatkannya dengan cara yang baik. Maka dari itu kita tidak boleh anti kritik dan tetap mengingatkan satu sama lain.
Memfilter diri juga cenderung dicederai oleh mereka yang memiliki niat lain. Bagi yang memiliki niat buruk, munafik yang berkedok memfilter diri biasanya digunakan hanya untuk meningkatkan citra diri agar semakin digilai dan dihormati orang banyak.
Alih-alih memfilter diri orang seperti ini bisa dikatakan tidak memfilter tapi lebih kepada berbohong dan munafik, maksudnya adalah perkataanya tidak sejalan dengan perbuatannya, atau kita kenal dengan “pencitraan”. Orang yang pencitraan (bohong terhadap diri sendiri) dilakukannya oleh seseorang dengan maksud dan tujuan tertentu.
Orang yang melakukan pencitraan ini biasanya dilakukan selain di dunia nyata juga di dunia maya. Alih-alih memfilter diri orang yang melakukan pencitraan justru membesar-besarkan kebohongannya dengan maksud dan tujuan terntu agar mendapat keuntungan bagi dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, kita tidak bisa menilai orang lain hanya berdasarkan sudut pandang kita terhadapnya entah itu di dunia nyata maupun di dunia maya. Tidak ada seorangpun yang benar-benar bisa mengenal seseorang kecuali dirinya sendiri dan penciptanya.
Tapi mungkin, hal yang bisa kita lakukan jika ingin menilai orang lain adalah dengan dekat dengannya, dengan kedekatan yang dilakukan sesuai norma yang ada kemungkinan kita bisa lebih jauh mengenal orang itu dibanding menilainya hanya dari beberapa pertemuan atau bahkan sosial media-nya.
Tetapi ingatlah bahwa setiap kata adalah cerminan diri kita, walaupun pertemuan maupun sosial media tidak bisa dijadikan tolok ukur penilaian, tetapi apa yang kita lakukan didalamnya itulah merupakan cerminan diri kita.
Memfilter diri itu perlu untuk menunjukkan kelebihan yang kita miliki sehingga keuntungannya untuk diri kita sendiri. Dengan memfilter diri berarti kitapun menunjukkan kepedulian kita terhadap orang lain yang melihat atau bahkan orang lain yang menjadikan kita panutan.
Bila kita mengacu pada the law of attraction (hukum tarik menarik), betapa banyak saat ini perkataan, bacaan, tontonan yang secara tidak sadar menjadi tuntunan untuk kita dan orang lain. Dengan memfilter dirimu semaksimal mungkin, kebermanfaatan tersebut tidak hanya dirasakan diri sendiri tetapi juga orang lain yang melihatnya, asal, niatkan segala sesuatunya karena Allah SWT, demi kebaikan, bukan untuk pamer yang akan menjerumuskan kita pada kemaksiatan.
Filter diri disini sifatnya jujur bukan berbohong dan melebih-lebihkan, jadi, apa yang kamu katakan itulah yang kamu perbuat, yang kamu senangi, yang kamu rasakan, yang kamu mampu melakukannya itulah yang kamu tunjukkan, bukan dengan berbohong, munafik dan melebih-lebihkan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari blak-blakan (Apa adanya) VS Memfilter Diri ini adalah kita memang perlu keduanya dalam kehidupan kita. Memfilter diri harus kita lakukan kedalam segala aspek kehidupan. Kekalahan orang-orang yang memfilter diri dengan orang-orang yang tidak memfilter diri adalah pasifnya orang-orang yang memfilter diri untuk menunjukannya kepada khalayak banyak.
Akibatnya, banyak orang yang menjadi panutan seperti influencer maupun tokoh-tokoh penting malah orang yang memiliki kepribadian yang tidak sesuai dengan norma, dan parahnya orang-orang tersebut dijadikan panutan oleh banyak masyarakat. Hal inilah yang tentunya akan merusak generasi bangsa yang belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dalam menentukan sikap.
Oleh sebab itu, tak apa menunjukkan kelebihan yang dimiliki, tunjukanlah postingan kebaikan dan hal baik lainnya, asalkan semuanya diniatkan untuk menunjukkan rasa kepedulian kita kepada sesama. Memfilter diri juga termasuk didalam upaya apa adanya kita, bedanya adalah apa adanya kita dalam kelebihan dan kebaikan. Aibnya cukup kita saja yang tahu, tak perlu dibanggakan ke khalayak ramai yang hingga pada akhirnya menyesatkan para penerima informasi tersebut. Cukup sesali aib dengan bertaubat dan mohon ampunan kepadanya dengan penuh penyesalan dan tunjukkan sifat baikmu untuk kebaikan kita bersama. Wawlohualam Bissowab.
Referensi:
Amiruddin, Aam. 2011. Ketika Dosa Tak Dirasa. Penerbit Khazanah Intelektual: Bandung.
https://kbbi.lektur.id/blakblakan
https://dalamislam.com/akhlaq/hukum-menyakiti-hati-orang-lain-dalam-islam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H