Pernahkah kau merasa hancur dalam hidupmu? Pada sebuah garis waktu yang merangkak maju, ada saatnya kau bertemu dengan satu atau bahkan banyak peristiwa yang bisa mengubah hidupmu. Memang terkadang peristiwa itu terlampau menyakitkan untuk diingat kembali, tapi kamu akan tersenyum ketika berhasil melewatinya.
Saat itu aku masih berumur sekitar 14 tahun, tepatnya kelas 2 sekolah menengah pertama. Ketika teman-teman sebayaku saat itu mungkin tengah menikmati masa-masa menyenangkan, bermain, belajar tanpa memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya dipikirkan anak-anak seusiaku.
Kala itu sore hari sehabis pulang sekolah, aku menjalani hari-hariku seperti biasanya hanya saja saat itu aku tengah menjalani ujian akhir semester. Ketika itu, aku termasuk murid yang cukup pintar di kelas. Bagaimana tidak, aku tak pernah belajar dirumah bahkan untuk menulis pekerjaan rumahpun, aku mengerjakannya beberapa menit sebelum masuk sekolah haha. Meskipun begitu, aku selalu mendapatkan nilai lebih baik dari teman-temanku yang lain. Aneh bukan? Hehe. Memang masa-masa indah menurutku saat itu, tidak ada kecurigaan bahwa hal buruk mungkin akan terjadi setelahnya.
Aku pulang sekolah dengan berjalan kaki bersama seorang teman yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan rumahku. Kira-kira sekitar 3 km untuk sampai ke rumah kami, tidak terlalu jauh tapi cukup lelah dan cuacanya hari itu tidak terlalu cerah bahkan cenderung sedikit mendung.
"eh takut hujan nih aku masuk rumah duluan ya. Bye!" ucapku. Dan kami pulang ke rumah masing-masing.
"assalamualaikum" salam yang biasa aku ucapkan ketika sampai di rumah. "waalaikumussalam" terdengar 2 orang menyahut dari dalam rumah. Mereka adalah mama dan kakak laki-lakiku. Selepas berganti pakaian, aku bergegas pergi ke tempat mama dan kakak tengah berbincang di dapur. Sambil mama memasak sesuatu, kami berbincang sedikit tentang kejadian menarik hari ini. Meski terkadang obrolan itu tak terlalu penting, tapi cukup bisa menghangatkan suasana kala hujan mulai turun diluar. Hari ini hanya kami bertiga di rumah karena bapak tengah bertugas.
Ditengah canda tawa kami, dering ponsel mama berbunyi. Aku yang mengambilkan ponselnya untuk mama jawab, namun yang aku lihat hanya sebuah nomor ponsel tak dikenal. Mama bertanya "siapa de?" "gatau ma" jawabku sambil menaikkan pundak. Kemudian mama menjawab telepon "halo assalamualaikum, dengan siapa ya?" aku tak tahu pasti mama berbicara dengan siapa. Tapi yang kulihat, raut wajah mama berubah setelah mendengar sesuatu yang dikatakan seseorang dibalik telepon itu. Aku dan kakakku tampak bingung sambil terus memperhatikan mama, semakin lama raut wajah mama seperti menahan tangis dan amarah. Kakakku yang sudah cukup dewasa mengambil ponsel ibuku dan bertanya siapa orang dibalik telepon itu. Kakak mengeraskan volume ponsel hingga aku bisa mendengarnya, dan kulihat mama masih menangis. Suara dibalik telepon itu ternyata seorang perempuan. Entah apa maksud dan tujuannya, perempuan itu berkata bahwa ia adalah pacar dari bapakku. Tunggu, apa aku tak salah dengar? Perempuan itu bilang bahwa dia adalah PACAR BAPAKKU? Apa karena ini mama menagis? Apa benar apa yang dikatakan perempuan itu? Apa cukup tega bapak melakukan semua itu? Pertanyaan-pertanyaan itu seketika muncul dikepalaku. Aku mencoba tenang sambil terus mendengarkan jawaban perempuan itu dari pertanyaan- pertanyaan kakak. Dari semua percakapan itu, yang aku mengerti dan aku tangkap adalah bahwa perempuan itu bernama Rita, mengaku sebagai simpanan bapakku, manjalani hubungan terlarang dengan bapak, mempunyai seorang anak yang tandanya ia adalah seorang janda, berhubungan dengan bapakku selama 4 tahun dan tujuan dia menelepon mamaku adalah agar mama bisa menceraikan bapak. Aku benar-benar harus mencerna semua perkataan wanita itu. Melihat ibuku yang terus menangis sambil memelukku, tentu aku tak bisa menahan air mataku lagi. Semuanya tampak tidak percaya, tentu saja kami semua belum sepenuhnya percaya pada perempuan itu sampai akhirnya kakakku menutup teleponnya dan langsung memeluk aku dan mama.
Kakakku menyuruhku pergi ke kamar karena ia akan bicara sesuatu pada mama dan seharusnya anak seusiaku belum boleh mengetahuinya. Mungkin. Aku hanya menuruti permintaannya dan pergi ke kamar dengan menutup pintu serapat mungkin. Tak ada yang bisa aku lakukan selain menangis, hingga setelah 10 menit mereka membicarakan sesuatu, akhinya aku diminta kakakku agar diam di rumah sebab mama dan kakak akan pergi ke suatu tempat. "de, diem dulu di rumah sebentar ya. Mama sama kakak mau pergi dulu. Jangan kemana-mana sampai mama pulang" pinta mama sekali lagi sambil bersiap menggunakan jaket, aku lihat hujan mulai turun tak terlalu besar, hanya rintikan kecil. Aku hanya menjawab mama dengan anggukan tanda meng-iyakan. Selama dirumah sendirian, yang aku lakukan hanya berpikir bahwa perempuan yang bernama Rita itu mungkin hanya mengaku-ngaku dan berbohong. Aku tetap membela bapakku karena yang kutahu, bapak adalah sosok ayah yang baik selama ini. Tentu saja yang aku rasakan sangat marah, sedih, bingung, hingga saat itu aku berdoa pada tuhan agar aku dan keluarga bisa dikuatkan untuk menjalani cobaan ini apapun yang terjadi.
Satu setengah jam berlalu, aku sudah tak menangis. Sebab aku meyakinkan diri bahwa bapak tidak mungkin melakukan itu. Kemudian mama dan kakak datang, tapi kali ini mereka tidak datang berdua. Ada bapak menyusul, ibuku tampak marah dengan wajah yang masih sembab karena menangis, kakak juga terlihat marah dengan membantingkan helm yang setelah ia gunakan. Aku menghampiri mama, tapi kakak langsung menahanku dan bilang "de ke rumah teh Ani dulu ya, sama kakak dianter, tapi jangan bilang siapa siapa kalau dirumah ada masalah" teh Ani adalah saudaraku yang rumahnya berada sedikit dibawah rumahku, hanya tinggal turun tangga.
Aku awalnya bingung, hingga akhirnya mengerti bahwa orang-orang dewasa ini mungkin akan membicakan sesuatu yang penting, dan tampaknya ini bukan berita yang baik. "yaudah iya tapi nanti kasih tau aku" jawabku pada kakak. Kakak hanya mengangguk sambil mengantarkan aku ke rumah teh Ani. Sesampainya disana aku berlari ke kamar dan disana ada teh Ani, aku menangis sejadinya. Sampai orang-orang dirumah itu tampak kebingungan dan terus bertanya ada apa tapi aku tak menjawab mereka. Aku mendengar bentakan bentakan keras dari arah rumahku, kedengarannya itu adalah suara kakak dan jeritan-jeritan mama membuat aku sangat ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di rumahku saat itu. Teh Ani menahanku seolah tahu bahwa ada yang tak beres. Aku hanya menangis sambil memanggil mama dengan keras. Semakin lama, suara itu hilang dan aku berhasil ditenangkan oleh teh Ani. Mungkin sekitar 30 menit kakak menjemputku untuk pulang ke rumah. Aku melihat bapak pergi dengan motornya, "kak itu bapak mau kemana?" aku penasaran. Kakak menjawab "ada urusan dulu, nanti juga pulang" terlihat jelas bahwa tangan kakak merah seperti habis menonjok sesuatu, dan wajahnya juga sedikit sembab, tapi aku tak bertanya banyak hal.
Malam pun tiba, mama tampaknya tidak keluar sejak sore didalam kamar, dan kakak hanya memainkan ponsel di ruang tamu. Aku memilih tidur di kamarku karena esok paginya aku harus berangkat sekolah dan mengerjakan ujian akhir semester.
Sebelum tidur, aku berdoa agar hari esok lebih baik dan aku berharap kami sekeluarga selalu bisa bersama. Keesokan harinya, aku bersiap untuk pergi ke sekolah, seperti biasanya aku menyiapkan semua peralatannya sendiri. Dan mama tengah menyiapkan sarapan di dapur, matanya sangat sembab tapi masih bisa tersenyum padaku "de sarapannya roti dulu ya, mama ga masak" ucap mama. "iya ga apa apa ma, mama juga sarapan ya". "iya".
Setibanya aku disekolah, pikiranku lumayan teralihkan dari masalah kemarin. Aku hanya berkonsentrasi untuk mengerjakan soal ujian dan bercanda tawa bersama temanku yang lainnya seolah tidak terjadi apa-apa dirumah. Seperti hari-hari biasa yang kulewati di sekolah, selalu terasa menyenangkan. Hingga bel sekolahpun berbunyi tanda murid sudah waktunya pulang. Aku pulang dengan temanku seperti biasanya berjalan kaki, cuacanya sangat panas, dan soal ujian tadi adalah pelajaran yang tidak aku sukai. Benar-benar menyulitkan. Hingga akhirnya aku sampai dirumah, tapi tak satupun orang yang kutemui didalam. Aku masuk ke kamarku, dan betapa terkejutnya aku melihat isi kamarku seperti kapal pecah. Kaca hancur, kasur dan isi lemari berserakan, isi bantal berhamburan, dan di tembok terlihat tumpahan bekas make-upku yang pecah. Aku menangis mendapati semua barang-barangku berserakan dimana mana tapi tak seorangpun ada didalam rumah. Aku menutup pintu rumah dan menangis keras, menelepon mama, menanyakan keberadaannya.
Mama bilang sebentar lagi pulang, dan menyuruhku untuk berhenti menangis. Beberapa lama akhirnya mama pulang dan aku langsung bertanya siapa yang melakukan ini pada kamarku. "Tadi kakak berantem sama bapak, kakak menantang bapak sampai akhirnya ribut di kamar, mama pisahkan mereka terus nyuruh bapak pergi dari rumah soalnya kakak lagi emosi. Maaf ya, nanti kamarnya mama beresin" hancurnya hatiku ketika mendengar penjelasan mama, seolah yang dikatakan wanita itu adalah benar hingga membuat kakak menantang bapak untuk bertengkar. Aku dan mama hanya bisa menangis sambil berpelukan. Perasaan yang paling aku rasakan saat itu adalah marah. Aku marah pada bapak, aku benci, bahkan aku meminta mama untuk segera berpisah dengan bapak. Beberapa hari itu bapak tidak pulang, aku saja tak mau tahu bapak kemana. Sampai suatu hari bapak pulang, tapi aku sama sekali tak pernah melihat wajahnya. Yang kutahu hanya dendam saat aku melihatnya, bicarapun aku sudah tidak sudi lagi pada saat itu. Selama beberapa hari, aku tak pernah menganggap bapak ada dirumahku. Aku selalu menghiraukannya dan tak menjawab bila bapak bertanya.