Penulis: Fika Daulian
Dosen KIA-Kesehatan Reproduksi, Universitas Cenderawasih
Kontrasepsi hormonal telah menjadi pilihan utama bagi banyak perempuan di Indonesia, termasuk kontrasepsi suntik Depo Medroxy Progesterone Acetate (DMPA). Di Kota Kendari, misalnya, data menunjukkan prevalensi pengguna kontrasepsi suntik DMPA mencapai angka signifikan. Namun, sebuah penelitian mengungkapkan dampak jangka panjang penggunaan DMPA terhadap fungsi seksual perempuan yang seharusnya menjadi perhatian serius baik bagi pengguna maupun penyedia layanan kesehatan (daulian, dkk. 2019). Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan yang menggunakan DMPA selama dua tahun atau lebih memiliki risiko dua kali lebih besar mengalami disfungsi seksual dibandingkan pengguna dengan durasi pemakaian kurang dari dua tahun (daulian, dkk. 2019). Disfungsi seksual yang dilaporkan meliputi gangguan pada hasrat, rangsangan, lubrikasi, kepuasan, hingga nyeri saat berhubungan seksual, selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Hassan (2016), pada akseptor KB hormonal meningkat seiring dengan durasi penggunaan kontrasepsi hormonal.
Meski tidak semua domain fungsi seksual menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik, hasil ini menegaskan bahwa penggunaan jangka panjang DMPA tidak terlepas dari risiko efek samping yang memengaruhi kualitas hidup seksual perempuan (daulian, dkk. 2019). Pada penelitian Lee et al. (2017) kontrasepsi juga dapat menyebabkan dyspareunia karena peningkatan resiko vestibulitis dan kekeringan vagina. Kariman et al. (2017) dalam penelitiannya bahwa disfungsi seksual antara kelompok DMPA lebih tinggi.
Mengapa Hal Ini Penting?
Fungsi seksual adalah salah satu aspek penting dalam menjaga kualitas kehidupan pernikahan dan kesehatan reproduksi (Laumann et al., 2014). Dengan melakukan hubungan seksual, individu dapat merasakan dampak positif seperti kesehatan fisik, kesehatan reproduksi, pengelolaan rasa sakit, relaksasi fisik, kesehatan psikologis, sosial, dan rohani (Kedde et al., 2011). Ketika perempuan mengalami gangguan seperti penurunan hasrat seksual, kesulitan mencapai orgasme, atau nyeri saat berhubungan, hal ini tidak hanya memengaruhi mereka secara individu, tetapi juga dapat menimbulkan dampak pada keharmonisan rumah tangga.
Faktor usia perempuan, usia suami, dan lamanya usia pernikahan berperan signifikan dalam memperburuk risiko disfungsi seksual. Perempuan usia 35--49 tahun, misalnya, lebih rentan mengalami disfungsi seksual akibat perubahan fisiologis yang berkaitan dengan penurunan kadar hormon estrogen. Faktor usia suami juga relevan, di mana pasangan dengan suami berusia 35 tahun ke atas lebih berisiko menghadapi tantangan dalam kehidupan seksual (daulian, dkk. 2019).
Peran Penyedia Layanan Kesehatan
Temuan ini menggarisbawahi pentingnya edukasi dan konseling yang menyeluruh oleh penyedia layanan kesehatan sebelum meresepkan kontrasepsi hormonal, khususnya DMPA. Informasi mengenai potensi efek samping jangka panjang, seperti risiko disfungsi seksual, harus disampaikan dengan jelas kepada pengguna. Penyedia layanan juga perlu secara aktif memantau pengalaman pengguna selama masa penggunaan kontrasepsi.
Selain itu, evaluasi kesehatan seksual perempuan, termasuk menggunakan alat penilaian seperti Female Sexual Function Index (FSFI), dapat menjadi bagian integral dari layanan kesehatan reproduksi. Pendekatan ini memungkinkan deteksi dini dan intervensi yang diperlukan untuk mencegah penurunan kualitas hidup seksual pengguna kontrasepsi.
Perempuan yang mempertimbangkan penggunaan kontrasepsi hormonal jangka panjang perlu diberikan akses ke berbagai opsi, termasuk metode kontrasepsi non-hormonal seperti IUD atau kondom, yang tidak memiliki efek langsung pada kadar hormon tubuh. Selain itu, terapi penggantian hormon atau penggunaan pelumas berbasis hormon dapat dipertimbangkan untuk mengatasi keluhan seperti kekeringan vagina dan nyeri saat berhubungan seksual.