Waraqah tidak dapat menemui “masa itu”. Ia wafat sebelum jelas segala sesuatunya. Sementara itu, Zaid ibn Amr yang ketika muda mengkritik secara terbuka terhadap penyembahan berhala dan ketika tua tak henti-hentinya berkata lemah, “Ya Tuhan, seandainya aku tahu bagaimana aku harus menyembah-Mu, tetapi sungguh aku tidak tahu bagaimana caranya,” senasib dengan Waraqah: tidak dapat menemui “masa itu”.
4. Ashabul Kahfi, Salman al-Farisi, dan, sebut saja, Empat Sekawan, merupakan kisah pencarian yang semuanya terjadi pada masa pra Muhammad SAW. Masa kosong yang penuh dengan kezaliman penguasa, pemalsuan dokumen, pencampuradukan informasi, dan pemujaan jutaan berhala. Sebuah situasi yang bisa diberi istilah missing link. Maka, dengan jaminan bahwa Tuhan sendiri yang menjaga validitas Alquran, alangkah aneh jika pada masa pascaMuhammmad ternyata masih ada (terus) kezaliman penguasa, pemalsuan dokumen, pencampuradukan informasi, dan pemujaan jutaan berhala.
Kita bisa bersikap sebagai Ashabul Kahfi, Salman al-Farisi, atau Empat Sekawan yang dipeluk kebingungan. Tetapi kita juga bisa bersikap sebagai yang selain mereka: yang tidak gelisah bahkan menjadi kaki tangan kezaliman, yang tidak merasa geli melihat api, selebritas, dan gambar wajah manusia di pinggir jalan dituhankan, yang tidak pedih mata membaca berita palsu, dan yang tidak pusing memikirkan jutaan data yang telah dicampur dan diaduk melilit kita: Tuhan berfirman, Nabi bersabda, Ulama berfatwa, Profesor berkata, Presiden berkaca, survey membuktikan ...
5. Kita, seharusnya, adalah orang-orang bingung.
Padangan, 28 Februari 2016