Mohon tunggu...
Faishal Himawan
Faishal Himawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Menulis, Menyuluh

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Belajar Bingung Kepada Ashabul Kahfi, Salman al-Farisi, dan--Sebut Saja--Empat Sekawan

23 Maret 2016   10:32 Diperbarui: 23 Maret 2016   11:35 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

1. Ashabul Kahfi, menurut sebuah versi, adalah sekumpulan pemuda bingung. Kepungan dewa-dewi Romawi, kemenjilatan Yahudi, dan ajaran Isa as. yang telah dimodifikasi sampai tingkat keterlaluan membuat mereka menjalani hari demi hari dengan pernyataan dan pertanyaan yang tidak pernah berganti: dewa-dewi hanyalah patung buatan manusia, Tuhan-nya Yahudi adalah Tuhan yang khusus menuhani Yahudi, dan modifikasi, secara harfiah pun bisa diketahui, bukanlah sesuatu yang asli. Jadi, di manakah Tuhan yang sebenarnya bersembunyi?

 

Kebingungan, pada umumnya, bercabang dua. Cabang yang satu membuahkan kegilaan, cabang yang lain membuahkan petunjuk. Dan begitulah Ashabul Kahfi. Di tengah masyarakat yang hampir seluruhnya memuja patung, tidak ikut-ikutan menyembah patung merupakan sebuah tindakan gila. Sebuah tindakan yang taruhannya nyawa. Pemerintah tiran Romawi hanya memberi tiga pilihan: dewa-dewi, modifikasi, atau mati.

 

Selalu ada tiba-tiba. Selalu ada tak terduga. Kebingungan dan kegilaan membawa Ashabul Kahfi kepada pencarian panjang yang, tepat pada titik kritis, berujung pertemuan mereka dengan seorang miskin tak berharga yang ternyata menyimpan sesuatu yang berharga; petunjuk: catatan ajaran asli, tentang Tuhan yang sejati.

 

Ashabul Kahfi, menurut versi ini, bukanlah rakyat biasa. Mereka adalah bangsawan Romawi dan menduduki jabatan-jabatan penting. Sejarah hampir selalu sama: Tuhan meletakkan “orang-orang-Nya” di tempat-tempat tak terduga, seperti Musa as. yang dibesarkan di istana Fir’aun. Seperti Musa as. pula, alih-alih berupaya mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, Ashabul justru Kahfi pergi (baca: lari) meninggalkan istana, “hanya” untuk tidur tiga abad lamanya, bangun sebentar, kemudian setelah mengetahui jawaban pertanyaan mereka yaitu bagaimana cara Tuhan menghalau domba salah jalan kembali menjadi domba benar jalan, mati.

 

2. Salman al-Farisi, menurut Sirah Ibn Ishaq, adalah seorang pemuda bingung. Kungkungan orang tuanya membuat ia memilih pergi meninggalkan rumah beserta segenap kekayaannya demi mencari dan menemukan Tuhan yang lebih masuk akal daripada sekadar Tuhan yang berwujud api.

Pencariannya yang pertama mempertemukannya dengan seorang penipu paling tak terduga: seorang pemimpin agama yang menyerukan umatnya untuk berzakat kepada orang-orang miskin namun zakat yang terkumpul bukannya dibagikan malahan dimakan sendirian.

Meski kecewa, Salman tak berhenti mencari. Barulah pada pencarian keempat ia bertemu dengan seorang yang memberinya rambu-rambu: tidak lama lagi akan datang seorang nabi yang membawakan kembali agama Ibrahim. Setelah mendapatkan ciri-ciri nabi tersebut dan setelah pemberi rambu-rambu wafat, Salman menyerahkan segala harta yang ia miliki kepada sebuah kafilah yang bersedia membawanya ke negeri Arab.

 

Salman memang sampai ke negeri Arab, tapi dengan status budak. Keculasan yang menjadi hal biasa pada masa itu menyeretnya menjadi budak seorang Yahudi di Wadil Qura. Perjanjian diingkari. Ia dijual sehingga dibeli.

Tepat pada titik kritis, yaitu titik di mana Salman hampir putus asa karena sudah tidak ada peluang untuk melanjutkan pencarian, sepotong informasi mendatangi: di Quba, orang-orang mengerumuni seorang lelaki yang mengaku sebagai nabi. Secara materi memang bukan Salman tujuan informasi itu, melainkan tuannya. Tetapi secara esensi, Salman lah tujuan datangnya informasi itu. Salman tidak akan pernah mendengar informasi penting itu andai ia tidak menjadi budak orang Yahudi.

Berkumpulnya orang Yahudi di Madinah dan sekitarnya, tidak lain, karena orang Yahudi mengetahui bahwa di Madinah lah seorang nabi yang mereka sangka akan menjadi penyelamat sekaligus pembawa kejayaan mereka muncul. Informasi tentang ini, sekecil apapun, akan lebih cepat diketahui Salman di lingkungan Yahudi daripada di lingkungan yang lain.

Kepada Muhammad saw. Salman menceritakan seluruh kisah pencariannya, termasuk satu kisah yang komentar Muhammad saw. terhadap kisah yang satu itu sangat mengernyitkan dahi, “Jika yang kamu ceritakan itu benar, maka kamu telah bertemu Isa putra Maryam.”

 

3. Waraqah ibn Naufal ibn Asad, Ubaidullah ibn Jahs ibn Ri’ab, Utsman ibn Huwairits ibn Asad , dan Zaid ibn Amr ibn Nufail, juga menurut Sirah Ibn Ishaq, adalah empat pemuda bingung. Kepungan entah berapa juta berhala membuat mereka semakin kesulitan mengidentifikasi seperti apa agama Ibrahim yang sesungguhnya. Satu-satunya yang mereka tahu: Ibrahim menolak bintang, bulan, matahari, patung-patung, dan terutama Namrudz.

 

Tepat pada titik kritis, yaitu saat kebingungan mereka mencapai puncaknya yang kebetulan bersamaan dengan hari raya penyembahan berhala, mereka berempat diam-diam sepakat bahwa masing-masing dari mereka berempat akan melakukan pencarian sendiri-sendiri demi menemukan agama Ibrahim yang telah tertutupi oleh entah berapa juta berhala.

 

“Temukanlah untuk dirimu sendiri sebuah agama yang benar, karena kita sekarang tidak memilikinya.” Seakan-akan mereka berempat saling berkata satu sama lain: cerca trova; carilah maka akan kautemukan. Utsman ibn Huwairits melakukan pencarian dan “berhenti” di Bizantium. Ubaidullah ibn Jahs melakukan pencarian sampai datangnya Muhammmad saw., hijrah ke Abisiania dan “berhenti” di sana. Waraqah ibn Naufal mendalami sebuah catatan yang membuatnya berhasil melakukan identifikasi sehingga tanpa ragu ia berkata kepada Muhammad saw., “ ... kamu akan difitnah sebagai pembohong, mereka akan membencimu, mengusirmu, dan memerangimu. Sungguh, seandainya aku masih dapat menemui masa itu ...”

 

Waraqah tidak dapat menemui “masa itu”. Ia wafat sebelum jelas segala sesuatunya. Sementara itu, Zaid ibn Amr yang ketika muda mengkritik secara terbuka terhadap penyembahan berhala dan ketika tua tak henti-hentinya berkata lemah, “Ya Tuhan, seandainya aku tahu bagaimana aku harus menyembah-Mu, tetapi sungguh aku tidak tahu bagaimana caranya,” senasib dengan Waraqah: tidak dapat menemui “masa itu”.

 

4. Ashabul Kahfi, Salman al-Farisi, dan, sebut saja, Empat Sekawan, merupakan kisah pencarian yang semuanya terjadi pada masa pra Muhammad SAW. Masa kosong yang penuh dengan kezaliman penguasa, pemalsuan dokumen, pencampuradukan informasi, dan pemujaan jutaan berhala. Sebuah situasi yang bisa diberi istilah missing link. Maka, dengan jaminan bahwa Tuhan sendiri yang menjaga validitas Alquran, alangkah aneh jika pada masa pascaMuhammmad ternyata masih ada (terus) kezaliman penguasa, pemalsuan dokumen, pencampuradukan informasi, dan pemujaan jutaan berhala.

 

Kita bisa bersikap sebagai Ashabul Kahfi, Salman al-Farisi, atau Empat Sekawan yang dipeluk kebingungan. Tetapi kita juga bisa bersikap sebagai yang selain mereka: yang tidak gelisah bahkan menjadi kaki tangan kezaliman, yang tidak merasa geli melihat api, selebritas, dan gambar wajah manusia di pinggir jalan dituhankan, yang tidak pedih mata membaca berita palsu, dan yang tidak pusing memikirkan jutaan data yang telah dicampur dan diaduk melilit kita: Tuhan berfirman, Nabi bersabda, Ulama berfatwa, Profesor berkata, Presiden berkaca, survey membuktikan ...

 

5. Kita, seharusnya, adalah orang-orang bingung.

 

Padangan, 28 Februari 2016

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun