Mohon tunggu...
Albertus Fiharsono
Albertus Fiharsono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

menjadi orang Papua

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pohon Sagu Kehidupan

3 April 2011   03:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:10 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_98465" align="aligncenter" width="165" caption="papuawoman.blogspot.com"][/caption]

Yakomina Mahuze terduduk lemas. Tak berdaya. Citra dirinya telah luluh lantah bersama pepohonan sagu yang bertumbangan diterjang buldoser. Air matanya meleleh.

Baginya, pohon sagu bukan semata-mata sumber pangan, tapi simbol marga keluarganya, Mahuze. Ya, bagi masyarakat suku Malind- Anim, setiap keluarga memiliki simbol, citra, atau totem berbeda-beda. Gebze disimbolkan dengan pohon kelapa, Samkakai dicitrakan dengan kanguru, Kaize dengan kasuari, Basik-basik dengan babi, atau Balagaize dengan burung elang. Mereka memperlakukan dengan hormat citra diri atau totem itu.

“Ayo, terjang saya. Lindas saya,” Yakomina menjerit, memasang tubuhnya di depan buldoser. “Biar saya mati sekalian...!!”

Beberapa lelaki memegang tangannya. Dia meronta. Menjerit. Berteriak. Terkulai. Tergeletak tak berdaya. Bocah laki-laki kecil duduk di samping tubuhnya. Tak mengerti apa-apa.

Pepohonan sagu, tempat kanguru atau kasuari bersarang, baginya sangat sakral, pintu gerbang yang menghubungkan dua dunia, yang imanen dan transenden, antara yang kelihatan dan yang tak kelihatan. Itulah lintasan roh nenek moyang yang selalu menuturkan nilai kehidupan. Dari sinilah Yakomina belajar menyeimbangkan hidupnya, terwujud dalam relasi yang baik dengan alam dan sesama, menuju cita-cita menjadi Animha, manusia sejati.

“Bunuh saya sekalian.... Bunuh!!! Bunuh saya punya anak-anak semua...!!” Kali ini teriakannya tertelan oleh raungan chainsaw yang berpartner dengan buldoser.

______

Truk besar itu berjalan perlahan meninggalkan perkebunan. Melianus Mahuze dan beberapa temannya duduk ditumpukan kelapa sawit yang menggunung di bak truk itu.

[caption id="attachment_98469" align="aligncenter" width="187" caption="ervakurniawan.wordpress.com"]

13017623451334849436
13017623451334849436
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun