[caption id="attachment_98465" align="aligncenter" width="165" caption="papuawoman.blogspot.com"][/caption]
Yakomina Mahuze terduduk lemas. Tak berdaya. Citra dirinya telah luluh lantah bersama pepohonan sagu yang bertumbangan diterjang buldoser. Air matanya meleleh.
Baginya, pohon sagu bukan semata-mata sumber pangan, tapi simbol marga keluarganya, Mahuze. Ya, bagi masyarakat suku Malind- Anim, setiap keluarga memiliki simbol, citra, atau totem berbeda-beda. Gebze disimbolkan dengan pohon kelapa, Samkakai dicitrakan dengan kanguru, Kaize dengan kasuari, Basik-basik dengan babi, atau Balagaize dengan burung elang. Mereka memperlakukan dengan hormat citra diri atau totem itu.
“Ayo, terjang saya. Lindas saya,” Yakomina menjerit, memasang tubuhnya di depan buldoser. “Biar saya mati sekalian...!!”
Beberapa lelaki memegang tangannya. Dia meronta. Menjerit. Berteriak. Terkulai. Tergeletak tak berdaya. Bocah laki-laki kecil duduk di samping tubuhnya. Tak mengerti apa-apa.
Pepohonan sagu, tempat kanguru atau kasuari bersarang, baginya sangat sakral, pintu gerbang yang menghubungkan dua dunia, yang imanen dan transenden, antara yang kelihatan dan yang tak kelihatan. Itulah lintasan roh nenek moyang yang selalu menuturkan nilai kehidupan. Dari sinilah Yakomina belajar menyeimbangkan hidupnya, terwujud dalam relasi yang baik dengan alam dan sesama, menuju cita-cita menjadi Animha, manusia sejati.
“Bunuh saya sekalian.... Bunuh!!! Bunuh saya punya anak-anak semua...!!” Kali ini teriakannya tertelan oleh raungan chainsaw yang berpartner dengan buldoser.
______
Truk besar itu berjalan perlahan meninggalkan perkebunan. Melianus Mahuze dan beberapa temannya duduk ditumpukan kelapa sawit yang menggunung di bak truk itu.
[caption id="attachment_98469" align="aligncenter" width="187" caption="ervakurniawan.wordpress.com"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H