Mohon tunggu...
Albertus Fiharsono
Albertus Fiharsono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

menjadi orang Papua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bersepeda, Anak Papua Tak Butuh Ban Depan (Kecerdasan Kinestetik Luar Biasa)

31 Maret 2011   03:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:16 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Enak nggak sih mengajar di Papua? Anak Papua belajarnya gimana? Agak susah ya mereka? Dan, ah, masih ada sederet pertanyaan senada. Rata-rata berasumsi bahwa anak Papua memiliki intelegensi yang lemah dibandingkan dengan anak-anak di pulau-pulau lain di Indonesia.

___

Merauke, pagi hari.

Delapan, sembilan, sepuluh. Ya, kira-kira sepuluhan anak bersepeda, berangkat ke sekolah. Agak menyebalkan bagiku awalnya sebenarnya. Membahayakan pengendara lain, begitu lebih tepatnya. Satu anak mengangkat ban depan sepedanya, mengayuh seperti biasa, hanya ban belakang yang menapak di tanah. Satu anak lagi mengikuti, lalu yang lain ikut lagi. Dan..., semua bersepeda dengan posisi yang sama, hanya menggunakan satu ban.

Ya, ban depan tampaknya tidak terlalu berguna bagi anak-anak Papua. Belakangan saya melihat beberapa anak justru melepas ban depan sepeda mereka. Garpu depan dibiarkan telanjang tanpa ban, sekaligus berfungsi sebagai stander sepedanya ketika berhenti. Ah, bisa juga mereka...

Benar memang yang dikatakan Gardner, kecerdasan wujudnya macam-macam. Minimal ada delapan: linguistic, logical-mathematical, spatial, musical, kinesthetic, interpersonal, intrapersonal, dan naturalist.

Nah, kebanyakan anak Papua tampaknya dominan dalam kecerdasan kinestetik. Ya, kecerdasan terkait olah-gerak tubuh. Hampir semua anak sekolah di Papua bisa mengendarai sepeda hanya dengan satu ban untuk durasi dan jarak yang sangat panjang. Ketika menari, lihatlah, betapa gerakan kaki mereka sangat lincah dan sulit ditirukan. Cobalah meniru, dan Anda akan tertawa sendiri, menertawakan kekakuan gerakan Anda. Di lapangan sepak bola, lihatlah betapa indah gerakan mereka menggiring bola. Boaz Solossa, Oktovianus Maniani, dan Titus Bonai hanyalah beberapa contoh pemain Papua yang ber-skill kelas dunia. Masih banyak yang lain yang belum terasah dan tertemukan.

___

Jadi, masih berasumsi bahwa kecerdasan anak Papua lemah?

Mungkin benar, prestasi anak-anak Papua, diukur dengan ujian nasional misalnya, masih kalah dari anak-anak lain di pulau-pulau lain. Tapi itu sangat terkait dengan background knowledge anak-anak Papua yang memang cenderung kurang memadahi. Lihatlah, betapa memprihatinkan pendidikan dasar di daerah-daerah pedalaman Papua.

Guru seringkali juga kurang sabar menghadapi anak yang “susah nyambung”. Padahal itu sama sekali bukan karena intelegensi yang lemah, tetapi masalah background knowledge.

Guru seringkali juga kurang memanfaatkan kecerdasan kinestetik anak-anak Papua yang luar biasa itu. Metode pengajaran dari dulu sampai sekarang tetap begitu. Ceramah dan mencatat isi buku.

Sesendok kesabaran ditambah sedikit kreativitas dengan menerapkan pembelajaran yang lebih melibatkan aktivitas fisik, tampaknya bisa menjadi resep jitu untuk melesatkan kecerdasan dan pencapaian belajar anak Papua.

Mari.

[caption id="attachment_99266" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi (www.flickr.com)"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun