Mohon tunggu...
Figo Fabian
Figo Fabian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

L'histoire est mon pote. La politique est mon sens.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kolaborasi Keislaman Hasan al-Banna dengan Demokrasi Indonesia

28 Mei 2023   20:02 Diperbarui: 6 Juni 2023   09:57 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasan al-Banna dilahirkan di Mesir pada awal abad 20 Masehi. Dalam suku pertama abad 20 Masehi ini dia telah melancarkan satu gerakan Islam yang besar, yang terkenal dengan nama "Ikhwanul Muslimin". Hasan al-Banna dan Ikhwanul Muslimin adalah dua nama yang tidak dapat dipisahkan. Begitu bertenaga sekali gerakan tersebut sehingga pengaruhnya bukan saja merebak di Mesir, tetapi telah meresapi seluruh Dunia Arab. Gerakan Ikhwan telah mencetuskan kebangkitan Islam dan roh Islam di Dunia Arab. Namun, di dalam tulisan ini kita tidak akan berfokus membicarakan gerakan Ikhwanul Muslimin, akan tetapi lebih ke bagaimana karakteristik keislaman al-Banna mampu mewarnai demokrasi di Indonesia.

Hasan al-Banna belajar menghafal Al-Quran yang digurui oleh ayahnya sendiri hingga usia 8 tahun. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan di Madrasah Diniyah Ar-Rasyad yang dibangun oleh Syaikh Muhammad Zahran sekaligus ustadz di madrasah tersebut pada tahun 1915 M selama 4 tahun. Kemudian, ia melanjutkannya ke Madrasah I'dadiyah pada usia 12 tahun. Hasan Al-Banna ingin menjadi seorang guru akhirnya beliau memutuskan untuk bersekolah di Madrasatul Mu'alimin Al-Awwaliyah selama 3 tahun dan lulus pada tahun 1923 M, dengan memperoleh peringkat 5. Lanjut ke tingkat yang lebih tinggi yaitu ke perguruan tinggi Darul Ulum Al-'Ulya di Kairo saat usia 16 tahun, di sinilah ia mulai tertarik pada pemikiran politik. Pada tahun 1927 M, Hasan Al-Banna melakukan ujian diploma tepatnya pada bulan Juni, dan Hasan Al-banna lulus dari Darul Ulum, dengan mendapat peringakat pertama. Setelah lulus beliau diangkat oleh Kementrian Pendidikan menjadi guru bahasa Arab untuk sekolah dasar di Isma'iliyah.

Hasan al-Banna merupakan tokoh Muslim yang menyampaikan betapa pentingnya memiliki sifat dan tanggung jawab yang begitu mendasar sebagai orang Muslim, beberapa wasiatnya yang terlihat mendasar nan mulia adalah sebagai berikut: 1) Segera melaksanakan sholat jika adzan sudah berkumandang bagaimanapun kondisi Anda; 2) Membaca al-Quran, habiskan waktu kita sebagai seorang Muslim untuk mencermati, mendengarkan ayat-ayat Allah, dan berzikir kepada-Nya; 3) Mampukan untuk menguasai bahasa Arab, karena orang Islam harus bisa berbahasa Arab untuk memahami segala syiar yang ada di dalam agama Islam; 4) Janganlah suka berdebat, karena perdebatan tidak mendatangkan kebaikan; 5) Janganlah banyak tertawa, karena hati yang terhubung kepada Allah kondisinya selalu tenang dan teduh; 6) Jangan gemar bercanda, karena sifat asli umat Islam sejatinya adalah pejuang, dan pejuang hanya mengenal keseriusan; 7) Jangan mengeraskan suaramu melebihi hajat pendengar karena itu dapat mengganggu; 8) Jagalah silaturahmi kalian, jangan suka menggunjing, melukai hati orang lain, jangan berbicara jika tidak mengandung kebaikan di dalamnya; 9) Berkenalanlah dengan setiap orang yang kau temui, karena semua orang merupakan saudara kita, itu sendiri menggambarkan bentuk dakwah yang mengenalkan kepada cinta dari bentuk persaudaraan; 10) Kewajiban lebih banyak dari waktu yang tersedia, bantu orang lain agar ia bisa memanfaatkan waktunya. Jika Engkau saling bekerja, maka ringkaslah dalam mengerjakannya.

Dalam kehidupan berpolitik, al-Banna mengatakan "seorang Muslim tidak akan sempurna Islamnya kecuali jika ia seorang politisi, mereka akan memiliki jangkauan pandangan yang jauh dan memiliki kepedulian besar terhadap umatnya." Hasan al-Banna cenderung menolak adanya keberadaan dari partai politik. Karena dia takut kalau partai politik memiliki kepentingan mereka masing-masing. Dia sangat menginginkan adanya persatuan, jadi dengan adanya partai politik mencegah cita-cita persatuan miliknya itu. Namun, Hasan tidak menafikan bahwa boleh jadi partai politik sesuai untuk sebagian kondisi dan sebagian negara. Syaratnya ialah adanya kepemimpinan yang shalih dan mendapatkan bimbingan yang lurus. Menurutnya, kembali kepada realitas Perpolitikan Mesir bahwa sistem multi partai hanya akan mencerai-beraikan masyarakat, kinerja yang berantakan, dekadensi moral, keretakan rumah tangga, keterputusan hubungan kekerabatan, dan disaat itulah pihak asing datang memanfaatkan situasi. Di samping itu, al-Banna juga turut mengusulkan konsepsi nasionalisme dan ini sama seperti Indonesia yang menjunjung tinggi nasionalisme.

Hasan al-Banna mempunyai loyalitas yang tinggi kepada negaranya, saking cintanya dia kepada Messir, dia memiliki tujuan untuk meluruskan segala keburukan yang terjadi di negaranya, serta menghilangkan atau menghindari semua itu untuk lebih jauh. Dia tegas untuk memerangi paham atau ideologi yang dapat merobohkan negara yang dicintainya.

Nah, dipaparkan sudah spirit keislaman yang dimiliki Hasan al-Banna, yang mana dapat saya cermati bahwasanya hal itu sangat mengharukan. Bagaimana tidak? Semua yang dia sampaikan berisi kepedulian bagi kaum Muslim di seluruh dunia. Ia menginginkan umat Islam untuk memiliki pribadi yang tangguh, cakap, dan taat kepada Allah Swt. Karena itulah contoh manusia yang kuat menurutnya, dan manusia yang dapat membawa Islam ke arah yang lebih baik. Di Indonesia, Islam sendiri agak tertutupi dengan realitas masyarakat pluralistik, tertutup dengan dorongan globalisasi. Di negara yang demokratis, memang diberi keistimewaan bagi rakyatnya, yakni untuk hidup dengan bebas yang tentu masih diatur oleh konstitusi yang ada. Kebebasan yang tidak dibatasi justru akan menciptakan masyarakat yang liberal. Demokrasi pencasilais dan Islam bersifat simbiotik mutualistik, yang artinya negara dan agama berhubungan secara timbal balik serta saling memerlukan satu sama lain.

Selanjutnya, hubungan negara dan Islam yang ditunjukkan oleh Indonesia saya rasa bersifat akomodatif, yakni hubungan yang dicirikan dengan kesamaan antara agama dan negara salah satunya dalam mengurangi konflik. Sikap akomodatif ini muncul ketika umat Islam di Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila. Dalam negara yang bebas ini, Indonesia tentu memperbolehkan dengan adanya multi-partai. Kembali ke pembahasan mengenai al-Banna yang tidak begitu menyukai keberadaan multi-partai, menyesuaiakan realita kehidupan berpolitik yang ada di Indonesia dengan menggunakan pemahaman al-Banna maka tidak apa-apa, jika petinggi di partai politik itu sendiri merupakan orang-orang sholeh. Sehingga apa? Iya betul, mereka mampu menjalani tanggung jawab mereka dengan hati-hati karena mereka tahu Allah Maha Melihat dan Maha Adil, dan sungguh mereka akan menggunakan kekuasaan mereka itu untuk menyejahterakan rakyatnya.

Dengan demikian, spirit keislaman Hasan al-Banna mampu dikolaborasikan dengan demokrasi pancasilais. Wasiat yang disampaikan al-Banna berguna untuk membentuk karakteristik umat Islam dengan kokoh, diharapkan lahir generasi emas yang memiliki keindahan akhlak dan adab dalam kehidupan bernegara. Sifat nasionalisme al-Banna juga dapat diserap ke dalam konsep nasionalis di Indonesia. Cinta yang siap berkorban untuk melindungi negara Indonesia, mampu menjaga Indonesia dari perpecahan yang tidak diperlukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun