Mantan Kadiv Propram Polri, Ferdy Sambo telah divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan atas kasus pembunuhan berencana. Vonis mati untuk Sambo dinilai telah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat maupun keluarga korban. Meski di negeri ini, hukuman mati masih jadi perdebatan.
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kasus Sambo ini?
Ferdy Sambo adalah seorang polisi yang notabene merupakan pejabat yang bertugas sebagai penegak hukum. Apalagi posisi terakhir Sambo menjabat sebagai Kadiv Propam -- menjadi polisi-nya polisi.
Lebih hebat lagi, selain berpangkat Jenderal bintang dua, Sambo juga bergelar SH, MH. Entah kuliahnya di mana, tapi yang jelas dalam penulisan nama Sambo di media (termasuk di Wikipedia) ditulis Ferdy Sambo, S.H., S.I.K., M.H.
Dengan demikian, Sambo adalah seorang penegak hukum yang ahli hukum. Karena selain bergelar Sarjana Ilmu Kepolisian (SIK), dia juga bergelar sarjana Hukum (S.H) dan Magister Hukum  (M.H).
Dengan demikian pula, seorang penegak hukum yang ahli hukum seperti Sambo pun ternyata juga bisa jadi pelanggar hukum. Kenapa?
Pertama, Sambo adalah seorang manusia yang lupa. Â Sebagai penegak hukum yang ahli hukum, Sambo lupa bahwa seharusnya dia menjadi pengayom masyarakat, menjadi pahlawan rakyat yang bertugas menghukum (oknum) polisi yang nakal nan bejat. Bahkan bisa menjadi hero bagi rakyat jelata yang berjuang melawan hegemoni penguasa dan orang kaya. Tapi apa?
Kedua, Sambo adalah seorang manusia yang bodoh. Sebagai penegak hukum yang ahli hukum -- yang sudah berusia hampir 50 tahun, Sambo mestinya bisa mengendalikan emosinya. Sebesar dan seberat apa pun masalah yang dihadapinya. Sambo mestinya tahu, dirancang serapi apa pun yang namanya pembunuhan berencana akan berpotensi besar terungkap. Karena di pengadilan, pasti ada hal-hal janggal yang tidak bisa diterima akal. Apalagi kasus besar yang menjadi sorotan publik. Sambo teramat bodoh karena tidak lagi mengingat drama politikus 'menabrak tiang listrik' yang akhirnya jadi bahan tertawaan. Sambo mestinya bisa mengendalikan emosi dan cukup pintar mengatasi situasi sehingga pembunuhan bisa dihindari. Â Tapi apa?
Ketiga, Sambo telah menuai apa yang dia tanam. Â Bayangkan. Seandainya waktu itu Brigadir J 'hanya' ditampar atau dipukul, saya yakin kasusnya tidak akan terungkap dan Sambo tidak akan mengalami kehancuran dalam hidupnya. Namun, sebagai seorang polisi yang begitu cepat melejit karirnya, Sambo sepertinya sudah teralu banyak menanam kebusukan dan terlalu banyak pula menguasai hal-hal 'hitam' di lingkaran kekuasaannya. Kasus pembunuhan yang menjeratnya adalah bukti murka Tuhan dan karma atas apa yang dia perbuat agar terhenti semua kelakuan busuknya dan merasakan betapa pedihnya hidup sebagai seorang narapidana. (dengan syarat tidak ada banding atau PK yang akhirnya memperingan hukumannya dan akhirnya mendapat remisi berkali-kali kayak kasus tomy)
Â