Arikel ini memang hanya berisi pertanyaan-pertanyaan. Sebagai masyarakat Indonesia yang hanya berstatus rakyat jelata, saya memahami bahwa membahas sebuah RUU (UU) itu memang sulit. Karena yang membahas adalah orang-orang pintar yang sering menyulit-nyulitkan sesuatu yang (kadang) sebenarnya tidak terlalu sulit.
Namun, dari beberapa pertanyaan di atas, saya bisa menyimpulkan bahwa terganjalnya RUU PKS bukan semata-mata karena ketidaksetujuan fraksi PKS. Dalam sistem demokrasi kita, apabila kata sepakat tidak dicapai, mekanisme voting bisa dilakukan. Jika Komisi VIII DPR RI mau melakukannya, pembahasan RUU PKS bisa terus berjalan dan bisa segera disahkan menjadi UU.
Rasanya, lebih bisa diterima akal apabila (seandainya) Komisi VIII beralasan bahwa pembahasan RUU PKS ditunda dulu hingga proses revisi KUHP selesai karena RUU PKS (UU PKS) merupakan lex specialist atau undang-undang khusus dari KUHP yang sudah mengatur secara umum. Ketimbang beralasan, 'pembahasannya agak sulit'.
Pada akhirnya, saya sependapat dengan salah satu  Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad. Sikap Komisi VIII DPR memutuskan menarik RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 merupakan bukti bahwa DPR tidak memiliki komitmen politik yang cukup kuat untuk memberikan kepastian hukum bagi korban-korban kekerasan seksual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H