Ketika beberapa hari yang lalu KPK menangkap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan bersama 8 orang lainnya dalam serangkaian Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Jakarta, Depok, dan Banyumas, saya sempat berpikir bahwa meski UU KPK telah direvisi, lembaga antirasuah tersebut ternyata masih "garang".
Terlebih lagi penangkapan Komisioner KPU oleh KPK ini terkait dugaan suap yang melibatkan tokoh PDIP sebagai partai politik penguasa. Tentunya (mestinya), dalam rentetan penyelidikan selanjutnya akan (mestinya) menyeret tokoh penting partai moncong putih tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya, nama Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto memang ramai menjadi pemberitaan media. Hasto diduga sebagai pihak yang ikut terlibat (bahkan menjadi aktor penting) dalam kasus ini.
Namun, ketika rencana penggeledahan ruangan Hasto di kantor DPP PDIP pada Kamis, 9 Januari 2020 itu gagal, perkiraan saya bahwa KPK masih berani 'menyentuh' tokoh parpol penguasa, ambyar seketika.
Dari kegagalan KPK menggeledah ruangan Hasto inilah, lelucon pemberantasan korupsi dengan dasar UU KPK hasil revisi tampak begitu kentara. Dalam hal ini, keberadaan Dewan Pengawas-lah yang memegang peranan penting untuk 'bermain', bahkan akan menentukan hasil penyelidikan (dan penyidikan).
Sungguh teramat lucu dan menggelikan (baca: memuakkan) ketika setelah melakukan OTT, KPK masih harus menunggu surat izin Dewan Pengawas untuk melakukan penggeledahan. Tapi apa mau dikata, begitulah memang aturannya.
Langkah KPK menetapkan 4 orang, termasuk Wahyu Setiawan dan eks-caleg PDIP Harun Masiku menjadi tersangka memang tergolong sigap dan cepat. Akan tetapi, kegagalan KPK menggeledah ruangan Hasto sebagai lanjutan dari OTT untuk pengembangan penyelidikan merupakan lelucon konyol yang mudah diterka ending-nya.
Hasto merupakan salah satu "orang kuat" di PDIP. Sudah tentu, partai pimpinan Megawati tersebut akan berusaha secara maksimal agar nama Hasto tetap "bersih".
Dalam kasus ini, publik hanya dikejutkan di awal, ketika media ramai-ramai memberitakan OTT KPK menangkap Komisioner KPU atas dugaan suap proses PAW anggota DPR RI dari PDIP. Namun selanjutnya, publik terus disuguhi lelucon dan bukti-bukti "keampuhan" UU KPK hasil revisi.
Diawali Hasto dengan jurus "puyer kupu-kupu", PDIP terus membuat manuver untuk membela diri, bahkan malah membentuk tim hukum untuk menyerang balik KPK.
Keputusan DPP PDIP memecat Harun Masiku dari keanggotaan partai seolah telah memberi pesan kepada publik bahwa kasus ini hanya akan berkutat antara Harun sebagai eks-caleg PDIP dan Wahyu sebagai eks-Komisioner KPU. Tidak akan menyeret tokoh penting PDIP lainnya. Hampir pasti, Harun akan "dikorbankan".
Omong kosong para vokalis PDIP yang menyebut Harun Masiku (kemungkinan) menjadi korban pemerasan hanyalah upaya penggiringan opini, juga menggiring KPK agar 'hanya' berkonsentrasi terhadap empat tersangka sebagai pemberi dan penerima suap atas nama pribadi-pribadi.
Ketika gagal melakukan penggeledahan ruangan DPP PDIP, KPK sudah pasti akan gagal pula menemukan korelasi Hasto dengan tersangka lainnya.
Menurut hemat saya, langkah PDIP membentuk tim hukum, yang di dalamnya ada petugas partai bernama Yasonna Laoly (yang lupa bahwa dirinya adalah seorang Menteri) bukan dalam rangka menegakkan keadilan atas proses hukum yang dilakukan KPK terhadap kader PDIP, Harun Masiku.
Sudah jelas, agenda besar PDIP hingga Yasonna turun tangan membentuk tim hukum untuk 'menyerang balik' KPK adalah untuk mengamankan Hasto.
Meski menjadi tersangka dan mungkin saja (jika tertangkap) akan menjadi terdakwa, seorang Harun Masiku tidak akan mempengaruhi elektabilitas PDIP untuk ke depannya. Di mata publik, Harun Masiku tidak dikenal dan tidak terkenal.
Lain halnya dengan Hasto Kristiyanto. Sebagai orang kepercayaan Megawati yang menduduki posisi Sekjend selama dua periode secara berturut-turut, nama Hasto tentu akan berpengaruh terhadap kredibilitas dan nama baik PDIP yang tentunya juga akan berpengaruh pula terhadap elektabilitas partai.
Oleh karena itu, kepanikan PDIP dalam menyikapi kasus ini menjadi bisa terbaca bahwa sesungguhnya,  langkah PDIP membentuk tim hukum tidaklah hanya sekadar membela diri karena ada eks caleg-nya yang terlibat, tetapi ada hal yang jauh lebih penting yaitu  agar Hasto tidak 'tersentuh'.
Keberadaan Dewan Pengawas KPK yang mempunyai kewenangan  memberi izin (harus dimintai izin) untuk penggeledahan setelah OTT sebagaimana diamanatkan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK memang memberi jeda masa yang memungkinkan terduga pelaku tindak pidana korupsi (suap-menyuap)  menghilangkan barang bukti.
Dengan bahasa lain, lamanya proses penggeledahan akan sangat memungkinkan pihak-pihak terkait  untuk mengatur sedemikian rupa agar orang-orang tertentu bisa 'diamankan' karena pengembangan kasus akhirnya menemui jalan buntu.
Pun demikian dengan kasus proses PAW DPR RI Â yang salah satu tersangkanya eks caleg PDIP Harun Masiku ini. Kalau pun toh empat orang yang di-tersangka-kan KPK pada akhirnya masuk penjara, Â Hasto sepertinya akan 'aman-aman saja'.
Seperti inikah  proses pemberantasan korupsi yang diharapkan DPR-pemerintah dan masyarakat yang mendukung, bahkan sangat mendukung revisi UU KPK?
Mari kita sama-sama saksikan sepak terjang 'KPK baru' yang konon telah 'dikuatkan' oleh UU hasil revisi  yang menuai kontroversi. Secara pribadi, saya telah melihat bahwa pemberantasan korupsi oleh KPK baru di bawah kepemimpinan Irjen Filri, dengan dasar UU KPK hasil revisi tak ubahnya drama komedi yang lucunya bikin sakit hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI