Setelah memanggil beberapa nama, petugas imigrasi Selangor memanggil orang-orang yang pada hari kemarinnya sudah dapat pembagian nomor antrean. Sementara kami, yang baru datang pertama kali, atau yang beberapa kali datang tapi tak berhasil mendapat nomor antrean, dibiarkan begitu saja.
Selama berjam-jam, di antara kami tidak ada yang berani meninggalkan antrean sebab takut barisan kami diserobot orang lain. Kami betul-betul mandi keringat. Tidak hanya membasahi seluruh tubuh, bahkan keringat yang membasahi baju kami bisa diperas.
Di dalam antrean inilah, secara kebetulan, di depan dan belakang, juga di sebelah kiri  barisan saya adalah orang-orang Indonesia. Saya memberanikan diri untuk mengenal lebih dekat teman satu bangsa.
Ketika jam makan siang, kami tahu bahwa pegawai imigrsai istirahat, tapi kami tetap tak berani beranjak dari barisan. Untuk makan siang, saya minta antar anak Medan turun ke lantai bawah beli makanan dibungkus dan saya makan di barisan antrean. Anak Medan tersebut pada  akhirnya saya ketahui bernama Iksan.
Kami terus bertahan di antrean meski lorong itu kian panas dan pengap hingga sekitar pukul 16.00 ada pegawai imigrasi muncul. Kami diminta berbaris secara teratur lagi. Ratusan orang di lorong pengap itu tak ada yang berani bersuara ketika pegawai imigrasi berteriak-teriak menyuruh kami menempaelkan tubuh ke tembok agak barisan nampak 'elok'.
Namun anehnya, setelah kami disuruh duduk, tiba-tiba pegawai imigrasi menyuruh kami berdiri dan menyuruh balik kanan-jalan menuju pintu keluar, turun ke lantai bawah.
Ya, setelah hampir sepuluh jam kami berbaris, mandi keringat di lorong pengap, tanpa ada pemberitahuan apa-apa kami dihalau begitu saja. Hari itu, 20 Desember 2019, hari pertama saya datang ke kantor imigrasi Selangor untuk bayar kompaun, tidak ada pembagian nomor antrean dan tidak ada pelayanan apa pun. Usaha kami bertahan di antrean yang menyiksa (atau sengaja disiksa) sia-sia belaka.
Setelah turun ke lantai bawah, kami berkumpul di taman yang lokasinya di seberang jalan  kantor imigrasi Selangor. Dari obrolan di taman itu, saya jadi tahu bahwa tiga anak Medan, Iksan, Ilham dan satu lagi yang dipanggil si Black ternyata sudah berjuang di antrean sejak tanggal 18 Desember.
Kebetulan, tiket kepulangan saya dan sepupu saya, sama dengan ketiga anak Medan tersebut, yaitu tanggal 22 Desember 2019. Jadi, waktu kami untuk berjuang di antrean agar bisa bayar kompaun untuk mendapatkan check out memo dari imigrasi Malaysia tiggal satu hari, yaitu keesokan harinya, 21 Desember 2019.
Malam itu, seperti yang sudah dilakukan ketiga anak Medan itu selama dua malam, juga  anak Padang yang kami panggil Bang Opi, kami memutuskan untuk tidur di taman agar bisa berjuang lagi di antrean, esok harinya.