KPK adalah supervisor-nya kejaksaan dan kepolisian. Jika KPK dipinpin polisi dan jaksa , sama artinya mereka mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri.
Sudah pasti akan ada konflik kepentingan ketika KPK menangani kasus di kepolisian atau kejaksaan.  Padahal sudah menjadi rahasia umum, banyak oknum jaksa dan oknum polisi yang terlibat kasus korupsi  dan hanya KPK yang mampu membongkarnya.
Masih segar dalam ingatan kita kasus Cicak versus Buaya. Sejarah telah membuktikan, kejaksaan dan kepolisian yang dipersonifikasikan sebagi buaya oleh Susno Duadji ternyata tidak tepat karena dalam perkembangan selanjutnya si buaya telah berubah menjadi tikus.
Sekali lagi, mestinya tidak ada (unsur) kejaksaan dan kepolisian  yang menjadi pimpinan KPK. Kepolisian dan kejaksaan mestinya sadar bahwa mereka berada di bawah pengawasan KPK. Logikanya, kalau kepolisian dan kejaksaan sudah becus bekerja memberantas korupsi, untuk apa dibentuk KPK? Jika ternyata KPK lebih bisa diharapkan memberantas korupsi, lha kok polisi dan jaksa mau duduk jadi pimpinannya?
Hemat saya, KPK akan lebih perkasa jika tidak dipimpin polisi dan jaksa. Meski demikian, harapan untuk menyelamatkan KPK sepertinya sudah sirna. Â Presiden bisa mencoret nama capim bermasalah, tapi Jokowi tidak melakukannya. DPR malah lebih gila dengan rencananya merevisi UU KPK.
Sepertinya, saat ini kita tengah menyaksikan detik-detik kematian KPK. Â Atau, kalau pun masih hidup, kita akan menyaksikan KPK mengalami impotensi karena DPR dan Presiden secara bersama-sama dengan sengaja mengebiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H