"Saya memutusken untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998."
Hari ini, tepat 21 tahun silam adalah  salah satu momen penting yang tercatat dalam  sejarah perjalanan bangsa  Indonesia. Pagi itu,  Kamis, 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Presiden Soeharto terpaksa turun dari tahta yang telah ia duduki selama 32 tahun karena tuntutan rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang, terutama permintaan pergantian kepemimpinan nasional.
Saat itu, gerakan reformasi yang dimotori para mahasiswa dari berbagai kampus semakin punya power karena  'bertemu' dengan gerakan rakyat, khususnya para pendukung Megawati Soekarno Putri yang 'disingkirkan' pemerintah dari kursi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Demonstrasi besar-besaran terjadi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di seluruh Indonesia. Tragedi dan kerusuhan tidak menghentikan mahasiswa untuk terus melakukan aksi dengan satu tujuan utama, menurunkan Soeharto.
Tindakan represif aparat keamanan dalam mengatasi demonstrasi mahasiswa semakin menyulut semangat perlawanan para mahasiswa dan masyarakat untuk menuntut Soeharto turun.
Pada 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR. Pada hari itu juga, pimpinan DPR/MPR yang diketuai Harmoko meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden.
Upaya Soeharto untuk bertahan dengan menawarkan pembentukan Komite Reformasi sebagai pemerintahan transisi hingga dilakukannya pemilu berikutnya ditolak oleh sejumlah tokoh seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid yang ditemui Soeharto pada 19 Mei 1998.
Bahkan, 14 menteri di bawah koordinasi Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita juga menolak bergabung dalam Komite Reformasi atau kabinet baru hasil reshuffle. Posisi Soeharto semakin lemah dan atas sejumlah pertimbangan, pada 21 Mei 1998, sang Jenderal Murah Senyum itu memutuskan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pasca kejatuhan Soeharto, sejumlah tokoh reformasi berhasil menikmati kue kekuasaan, buah manis gerakan people power rakyat yang berdarah-darah, bahkan kehilangan nyawa di jalanan ketika berjuang melawan rezim otoriter Orde Baru. Â
Amien Rais yang pernah digelari 'bapak reformasi' sempat menjabat Ketua MPR. Abdurahman Wahid dan Megawati pernah jadi pasangan Presiden-Wakil Presiden meski akhirnya 'dijatuhkan' MPR pimpinan Amien Rais sehingga jabatan presiden dilanjutkan Megawati bersama Hamzah Haz.
Para aktivis mahasiswa 1998 seperti Budiman Sudjatmiko, Pius Lustrilanang, Desmond J Mahesa,  Adian Napitupulu, dan lain-lain  pada akhirnya juga berhasil menduduki kursi parlemen.
Jika gerakan people power 1998 berhasil menurunkan Soeharto, bagaimana dengan kabar akan adanya people power 22 Mei 2109?
Ah, mohon maaf pemirsah ... Tulisan ini hanya untuk sedikit mengingat turunnya Mbah Harto, 21 tahun lalu. Satu hal yang pasti, gerakan people power 1998 bukan soal sengketa pemilu, tapi karena keinginan yang kuat dari masyarakat akan adanya suksesi kepemimpinan nasional.
Kalau soal sengketa pemilu (menurut saya) tidak perlu ada people power. Bawa  ke MK saja ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H