Aku sakit, Nda  ...
Sakit apa?
Entahlah. Badanku lemah. Sunyi malam seolah begitu kejam menguliti jiwaku hingga pada gigil yang paling beku. Aku terkapar di pelataran harap. Menunggumu. Menunggu obat yang paling mujarab.
Ok, Aku akan datang.
Kemarilah. Tapi jangan sekarang. Tunggu jalanan sepi dari lalu lalang kepalsuan yang menyesatkan. Aku tak ingin engkau terjebak kemacetan akal  seperti mereka yang biasa berkoar tentang keadilan tapi nyatanya hanya bicara teori tanpa memahami  fakta lapangan. Bahkan, derita orang-orang kecil yang termarginalkan seperti barang dagangan, dijual untuk mengajukan proposal.
Kanda boleh tahan?
Tentu saja. Sakitku tak seberapa jika dibanding saudara-saudara kita yang tersiksa karena memang disiksa hingga ada yang sampai meregang nyawa di negeri tetangga. Aku hanya perlu dirimu, duduk di sampingku. Bersama-sama kita kembali menyusun kata untuk sebuah kalimat yang bisa membuatku semangat.
***
Malam terus berlalu seiring rotasi bumi memutar waktu hingga perempuan cantik itu datang mengetuk pintu. Ia memegang tangan dan leherku, kemudian meyentuh dadaku.
Dadamu sepertinya sesak.
Lirih, ia berkata dengan sorot mata berkaca-kaca. Dengan sabar, perempuan berkening mawar itu meramu jamu untukku. Diseduhnya butiran cinta dan aksara rindu di sebuah cawan biru dan aku meminumnya hingga habis tak bersisa. Dadaku langsung penak. Tak lagi sesak.