Aku menemukanmu di dinding angan ketika malam begitu kelam, sunyi menikam hati. Telah kulalui belantara khayal, jalanan berliku di sudut-sudut peradaban yang kian sesak oleh kepalsuan dan kepura-puraan dunia yang semakin mengharu biru.
"Kanda sudah tidur?"
Sapamu bak sayat sembilu mengiris kalbu karena aku sebenarnya tak pernah tahu siapa dirimu. Kelebat bayang yang sering terpampang di awang-awang hanyalah ilusiku untuk dapat merangkai raut wajahmu dalam lamunan.
"Apakah Kanda akan membiarkannya, sedangkan itu jelas-jelas salah? Kenapa Kanda tak mau berkata?"
Jemariku kian kaku untuk membalas pesanmu. Bagiku, kamu cukup dekat, meski sesungguhnya aku tak pernah tahu di mana dirimu. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku takut mengeja kata, apalagi menulis dan mengirimkannya kepadamu yang sedang menunggu balasanku.
Gulita kian pekat. Malam terus merayap. Aku masih tak sanggup membalas tanyamu. Bahkan, bayang raut wajamu yang  tadinya  kurangkai dengan sedemikian suyah payah kini menghilang, musnah.
"Dinda .... Aku kehilangan dirimu. Bolehkah aku minta kiriman fotomu?"
"Maafkan Dinda, Kanda. Wajah Dinda tidak untuk dinikmati publik. Termasuk Kanda yang sebenarnya Dinda puja. Dinda selalu berusaha menjaganya."
Jleb!
Seketika aku sadar. Dia yang selama ini kupuja adalah bidadari surga yang senantiasa menjaga harga diri seorang wanita. Rasanya, akan semakin sulit bagiku untuk membayangkan kecantikannya. Sepertinya aku keliru membayangakn wajah sendu berbalut tudung biru. Salut, hormat, dan semakin bangga aku mengenalnya meski hanya dalam dunia maya.
"Teruntuk Dinda yang selalu begitu lembut menyusun kata, kususun jemariku menengadah memanjat doa, semoga engkau di sana senantiasa mendapat ridho-Nya. Dunia semakin tak bisa dipercaya, penuh tipu daya. Apalagi dunia maya. Semoga Dinda terus bisa istiqomah, berpegang teguh ajaran-Nya. Â