Mohon tunggu...
Figo PAROJI
Figo PAROJI Mohon Tunggu... Buruh - Lahir di Malang 21 Juni ...... Sejak 1997 menjadi warga Kediri, sejak 2006 hingga 2019 menjadi buruh migran (TKI) di Malaysia. Sejak Desember 2019 kembali ke Tanah Air tercinta.

Sejak 1997 menjadi warga Kediri, sejak 2006 hingga 2019 menjadi buruh migran (TKI) di Malaysia. Sejak Desember 2019 kembali menetap di Tanah Air tercinta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Dinda Tak Percaya

4 Agustus 2018   16:21 Diperbarui: 12 Agustus 2018   20:17 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Dinda// foto: pixabay.com

"Aku lelah, Kanda. Malam telah mengulitiku hingga pada gigil yang paling beku. Aku tak lagi percaya kepada dunia. Semuanya palsu belaka."

"Dinda, percayalah tak pernah ada gulita yang menyiksa. Malam memang selalu menghadirkan gelap, tetapi ia tak pernah mengingkari janjinya, memberi terang di awal pagi. Seperti juga  aku ...."

"Tidak, Kanda! Aku tidak bisa. Ibarat berada di  tengah lautan, aku tak tahu arah, tak tahu di mana daratan. Gelap, semuanya tak nyata."

"Laksana ombak, yang kadang hingga ke tepian membentur karang, kadang pula pecah di tengah lautan. Begitulah sebuah perasaan. Tetapi, Dinda ... Aku bukan debur ombak. Pun bukan buih di tengah lautan yang mudah terombang-ambing, terseret arus gelombang. Aku adalah mentarimu yang kan setia terangi hari-hari gelapmu. Meski aku sadar ..."

"Maaf, kali ini aku sedang berada di titik lemah. Aku sedang tak percaya diri. Kulihat ilalang meliuk, merayu lalu mengalihkan pandanganmu. Meski engkau memandangku kembali,  tapi sedetik kemudian pandanganmu telah ia curi."

"Ah, kenapa engkau risaukan ilalang, Dinda? Bukankah engkau tahu kelebat bayangmu sudah cukup menggangguku? Aku bersamamu!"

  

***

Dinda tetap bermasam muka. Tanpa senyum. Tanpa tawa. Tak percaya. Hilang arah, seolah dunia telah memusuhinya. Jangankan menikmati indah senja dengan semburat merah-jingga, hangat mentari pun tak dapat dirasakannya.

Sementara di sudut jalanan, sekelompk anak-anak sedang berlarian telanjang kaki mencari bahagia yang terampas karena kehilangan kasih bunda. Setapak jalanan yang  tersisa masih dirasa berguna untuk bercengkrama dengan kerasnya dunia.

Mereka bercanda dan tertawa bersama. Mereka lupa telah kehilangan orang-orang yang menyanyanginya. Kebersamaan telah menguatkan mereka untuk terus meniti titian kehidupan di dunia tanpa derita, tanpa derai air mata.

Dinda berlalu melewati kerumunan anak-anak itu. Menatap satu persatu wajah-wajah mereka yang masih kelihatan lucu dan lugu. Pandangannya kosong, matanya berkaca-kaca. Dinda tertunduk, terduduk.

"Kanda benar. Kenapa aku terlalu mengutuk dunia. Aku lebih beruntung dari mereka."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun