"Aku lelah, Kanda. Malam telah mengulitiku hingga pada gigil yang paling beku. Aku tak lagi percaya kepada dunia. Semuanya palsu belaka."
"Dinda, percayalah tak pernah ada gulita yang menyiksa. Malam memang selalu menghadirkan gelap, tetapi ia tak pernah mengingkari janjinya, memberi terang di awal pagi. Seperti juga  aku ...."
"Tidak, Kanda! Aku tidak bisa. Ibarat berada di  tengah lautan, aku tak tahu arah, tak tahu di mana daratan. Gelap, semuanya tak nyata."
"Laksana ombak, yang kadang hingga ke tepian membentur karang, kadang pula pecah di tengah lautan. Begitulah sebuah perasaan. Tetapi, Dinda ... Aku bukan debur ombak. Pun bukan buih di tengah lautan yang mudah terombang-ambing, terseret arus gelombang. Aku adalah mentarimu yang kan setia terangi hari-hari gelapmu. Meski aku sadar ..."
"Maaf, kali ini aku sedang berada di titik lemah. Aku sedang tak percaya diri. Kulihat ilalang meliuk, merayu lalu mengalihkan pandanganmu. Meski engkau memandangku kembali, Â tapi sedetik kemudian pandanganmu telah ia curi."
"Ah, kenapa engkau risaukan ilalang, Dinda? Bukankah engkau tahu kelebat bayangmu sudah cukup menggangguku? Aku bersamamu!"
 Â
***
Dinda tetap bermasam muka. Tanpa senyum. Tanpa tawa. Tak percaya. Hilang arah, seolah dunia telah memusuhinya. Jangankan menikmati indah senja dengan semburat merah-jingga, hangat mentari pun tak dapat dirasakannya.
Sementara di sudut jalanan, sekelompk anak-anak sedang berlarian telanjang kaki mencari bahagia yang terampas karena kehilangan kasih bunda. Setapak jalanan yang  tersisa masih dirasa berguna untuk bercengkrama dengan kerasnya dunia.
Mereka bercanda dan tertawa bersama. Mereka lupa telah kehilangan orang-orang yang menyanyanginya. Kebersamaan telah menguatkan mereka untuk terus meniti titian kehidupan di dunia tanpa derita, tanpa derai air mata.