Sejak sehari yang lalu percakapan antara Presiden Joko Widodo bersama Najwa Shihab dalam program Mata Najwa bertajuk "Jokowi Diuji Pandemi" yang tayang pada Rabu (22/4/2020) menjadi perbincangan hangat. Bukan hanya pemerhati, pengajar, dan peneliti bahasa, isi percakapan tersebut bahkan berhasil meraih perhatian masyarakat. Semula saya hanya menyimak berbagai pendapat dari teman-teman baik secara obrolan pribadi maupun melalui status WhatsApp. Hingga akhirnya ada rasa menggelitik untuk membedahnya secara sederhana dari segi kebahasaan dalam ranah ilmu Semantik.
Mungkin di dalam tulisan ini, saya akan lepas sejenak dari konteks pembicaraan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi bersama Najwa Shihab, sehingga kita dapat berfokus pada objek kajian ini, yaitu "perbedaan mudik dan pulang kampung dilihat dari segi semantik".
Menurut J.W.M. Verhaar (1981: 9), semantik adalah ilmu tentang teori makna atau teori arti. Adapun pernyataan Tarigan (1985: 7) yang nampaknya sesuai dengan kajian ini, yaitu semantik menelaah lambang atau tanda yang menyatakan makna, hubungan makna satu dengan yang lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Maka dapat disimpulkan bahwa semantik merupakan suatu ilmu cabang linguistik yang mengkaji makna suatu kata dan bentuk penggunaannya dalam masyarakat.
Bahasa sebagai alat komunikasi, penyampai ide, konsep, gagasan, dan sebagainya nampaknya masih mempunyai persoalan dan hambatan dalam membedakan makna, informasi dan maksud. Maka, Verhaar membedakan konsep antara makna, informasi, dan maksud. Hornby dalam Sudaryat (2009: 13), menjelaskan bahwa makna merupakan apa yang kita artikan atau dimaksudkan oleh kita. Informasi merupakan sesuatu luar-ujaran (utterance-external phenomenon) dilihat dari segi objek yang dibicarakan, begitu juga dengan maksud yang termasuk sesuatu luar-ujaran namun dilihat dari segi penutur, orang yang berbicara, atau pihak subjeknya dan biasanya banyak digunakan dalam bentuk ujaran yang disebut metafora, ironi, litotes, dan bentuk-bentuk gaya bahasa lain (Chaer, 2009: 35-36).
Dalam kajian ini, mari kerucutkan lagi fokus kita pada teori makna dan informasi yang akan diaplikasikan pada kata mudik dan pulang kampung.
Kata mudik dan pulang kampung memiliki informasi yang sama, yaitu sama-sama memiliki arti pulang/kembali ke kampung halaman (menurut KBBI edisi V).
Namun, mudik dan pulang kampung memiliki makna yang berbeda karena bentuknya berbeda.
Maksudnya?
Baiklah, mari kita coba menguji dan mendistribusikannya dalam bentuk kalimat berikut:
(a) Paman mudik ke Garut.
(b) Paman pulang kampung ke Garut.
Mudik dan pulang kampung dalam kedua kalimat tersebut memiliki informasi yang sama, oleh karena itu kata mudik dalam kalimat (a) masih dapat diganti dengan pulang kampung. Dengan kata lain, dua kata tersebut masih berterima.
Tetapi dalam kalimat:
(c) Arus mudik terpantau lancar.
Akan kurang berterima jika kata mudik diganti dengan:
(d) Arus pulang kampung terpantau lancar.
Dari contoh tersebut, pulang kampung tidak dapat menduduki posisi mudik pada kalimat (c) karena bentuknya yang berbeda. Kalaupun dapat, tingkat keberterimaan di masyarakat akan terasa janggal terlebih lagi dalam situasi reportase hari raya atau dalam konteks hari raya. Seperti yang diungkapkan di atas bahwa makna kata juga memperhatikan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Selain itu, kita ingat kembali bahwa bahasa bersifat konvensional atau memiliki keberterimaan dalam masyarakat pengguna bahasa.
Mungkin untuk lebih memperjelas bentuk makna, kita lihat dalam kata "mama" dan "ibu". Kedua kata tersebut memiliki informasi yang sama, yaitu orang tua perempuan. Namun akan menjadi berbeda maknanya ketika masuk ke dalam kalimat:
(e) Ibu gubernur memberikan sambutan.
Tidak dapat diganti dengan:
(f) Mama gubernur memberikan sambutan.
Demikianlah kiranya perbedaan antara makna dan informasi dalam sebuah kata.
Lalu, ada beberapa orang yang bertanya perihal pernyataan Pak Jokowi itu benar atau tidak? Hmm ... di sini saya tidak akan menggiring opini publik untuk menyatakan benar atau salahnya ucapan beliau. Sekali lagi saya tegaskan bahwa tulisan yang saya buat ini lepas dari konteks percakapan Pak Jokowi bersama Kak Nana. Oleh karena itu, saya hanya bertujuan untuk memandu para pembaca untuk memahami dua kata tersebut dari segi kebahasaan.
Namun dari perbincangan antara Presiden Joko Widodo dengan Najwa Shihab ini nampaknya berhasil menggugah perhatian masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Banyak pula yang semula tidak terlalu memperhatikan arti sebuah kata, kini tergerak untuk membuka KBBI dan laman pencarian Google, kemudian mendiskusikannya.
Sungguh suatu atmosfer yang luar biasa saat masyarakat berdiskusi tentang kebahasaan, khususnya bahasa Indonesia. Tentunya hal ini memberikan harapan bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki kepedulian yang besar terhadap bahasa yang dimilikinya. Selain itu, momen ini juga diharapkan menjadi titik picu bagi semua khalayak untuk lebih giat berliterasi.
Demikian tulisan yang dapat saya utarakan. Jika ada kekurangan dalam pemaparan, dengan senang hati saya menanti masukan yang membangun untuk melengkapi tulisan ini.
Terima kasih, semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H