"Setiap anak jenius. Tapi jika anda menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, seumur hidup dia akan menganggap dirinya bodoh" -- Albert Einstein
Beberapa hari ini aku dikejutkan dengan sikap manis anak tengahku yang bernama Pasha. Berbeda dari biasanya, kali ini Pasha rajin belajar dan tidak malas berangkat sekolah. Mungkin bagi orang lain ini hal yang biasa saja, tapi bagi seorang ibu, hal kecil seperti ini adalah kejutan manis yang luar biasa.
Setiap anak adalah berbeda. Mereka punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pun dengan Pasha yang tipikal anak intelegensia sosial. Untuk nilai dan kemampuan belajar formal ia kurang, tapi untuk kemampuan soft skills aku pastikan ia juara. Berbeda dengan kakaknya yang tekun belajar dan memiliki nilai sangat baik di sekolah, tapi cenderung lebih pendiam dan kurang cakap dalam berkomunikasi sosial.
Meski nilainya kurang dan terkesan tidak betah belajar, tapi Pasha memiliki banyak teman dan sahabat. Ia sangat populer, baik di lingkungan sekolah maupun komplek perumahan kami. Pasha punya kemampuan leadership yang baik. Bukan hanya itu, kecakapan komunikasinya juga lebih unggul. Ia pandai mengemukakan pendapat dan teknik problem solving. Maka tak heran, banyak yang tetap respek dengannya, meski secara kemampuan belajar dan nilai kurang.
Sadar akan hal ini, saya sebagai ibu tidak bisa terlalu memaksakan diri untuk menargetkan prestasi juara kelas. Bagi saya, kemampuan soft skills yang ia miliki sudah cukup menjadi prestasinya yang harus diapresiasi.
Namun meski begitu, tidak dapat dimungkiri, terkadang ada rasa khawatir yang melintas tentang nilai-nilai mata pelajaran Pasha yang pas-pasan. Bagaimanapun, ketika kita menyekolahkan anak-anak di lembaga pendidikan formal, nilai adalah salah satu penentu kemampuan belajar anak di sekolah. Artinya, jika nilainya kurang atau pas-pasan, maka kurang juga lah kemampuan anak dalam memahami setiap materi pelajaran yang disampaikan tenaga pendidik di sekolah.
Sementara, dalam kehidupan, kemampuan soft skills jika tidak diimbangi dengan kemampuan hard skills, begitu juga sebaliknya, maka akan pincang. Ini artinya, kemampuan soft skills dan hard skills harus saling bersinergi dan mendukung. Kemampuan soft skills sebagai pembentuk perilaku dan budi pekerti baik sedangkan kemampuan hard skills sebagai bentuk keahlian yang jelas terkuantifikasi dan dapat diukur melalui nilai, ijazah, sertifikat, gelar, dll.
Lalu bagaimana solusinya ?
Kurikulum Merdeka, Menjawab Tantangan Kebutuhan Pendidikan Anak Indonesia
Keseimbangan antara kebutuhan kemampuan soft skills dan hard skills adalah menjadi tantangan tersendiri di dunia pendidikan Indonesia. Memahami bahwa setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda, bukan berarti keduanya tidak bisa dipelajari dan diterapkan secara berimbang. Pengetahuan soft skills dan hard skills tidak bisa berdiri sendiri sehingga harus dimiliki oleh setiap anak, tentu saja dengan porsi yang disesuaikan dengan kemampuan anak, agar mereka tetap bisa tampil sebagai dirinya sendiri dan dapat mengembangkan bakat dan minatnya masing-masing.
Kurikulum Merdeka kini telah hadir sebagai inovasi belajar mengajar di dunia pendidikan kita. Inovasi ini dirancang untuk memberikan keleluasaan bagi para pendidik untuk menciptakan pembelajaran yang berkualitas sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan belajar peserta didik.
Dilansir dari kemdikbud.go.id, karakteristik Kurikulum Merdeka mencakup tiga hal yaitu pengembangan soft skills dan karakter, fokus pada materi esensial dan pembelajaran yang fleksibel. Istimewanya, di dalamnya ada projek penguatan profil nilai-nilai Pancasila bagi para pelajar, dimana ada kegiatan korikuler yang mengakomodir nilai-nilai Pancasila di setiap kegiatan peserta didik, sehingga mereka paham akan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan berkarakteristik Pancasila di setiap aktivitas sehari-harinya.
Kurikulum Merdeka telah memberikan pembaruan dalam sistem pendidikan Indonesia, bahwa bukan hanya hard skills tapi ada kemampuan soft skills peserta didik yang harus dieksplorasi dan dikembangkan.
Kurikulum Merdeka tidak ingin hanya mencetak generasi unggul dalam ilmu pengetahuan tapi juga unggul dalam menciptakan karakter generasi muda yang Pancasila melalui penguatan kemampuan soft skills mereka.
Begitu juga sebaliknya, Kurikulum Merdeka juga memberikan kesempatan bagi para pendidik untuk berkreasi dan berinovasi dalam aktivitas belajar mengajarnya agar materi pelajaran dapat dipahami dan diserap secara maksimal oleh peserta didik.
Tidak zamannya lagi menyampaikan materi dengan cara komunikasi satu arah dimana guru menerangkan dan murid hanya mendengar atau mencatat. Kini, di Kurikulum Merdeka Belajar guru diberi kebebasan untuk menyampaikan materi dengan cara komunikasi dua arah dengan murid.
Cara ini tentu saja akan lebih kreatif dan menarik. Murid diajak untuk memahami suatu materi pelajaran dengan media diskusi, praktikum, riset, presentasi, dll. Kemasannya pun beragam, bisa dengan menyanyi, menari, akting, dll. Dengan demikian, diharapkan materi pelajaran dapat lebih mudah dipahami oleh murid karena mereka dilibatkan secara langsung dalam pemahaman materi tersebut.
Bonusnya, murid tidak hanya belajar materi pelajaran, tapi juga sekaligus belajar mengeksplorasi kemampuan soft skills yang dimilikinya, seperti berani tampil percaya diri, menciptakan karakter jujur dan bertanggungjawab, membangun sikap disiplin, mengasah kemampuan dalam bekerjasama dan melatih kemampuan teknik problem solving mereka sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Dengan demikian, Kurikulum Merdeka dapat menjawab tantangan untuk memenuhi kebutuhan soft skills dan hard skills peserta didik sesuai dengan kemampuan mereka dengan tetap mengedepankan prinsip dan nilai-nilai Pancasila.
Bukan Hanya Anak, Orangtua Juga Merasakan Dampak Positif Kurikulum Merdeka
Ternyata, bukan hanya Pasha yang berubah menjadi pribadi yang lebih baik, rajin belajar dan berangkat sekolah, Kurikulum Merdeka juga memberi perubahan baik bagi aku sebagai orangtua. Aku menjadi lebih peduli dengan perkembangan belajar anak dan turut kreatif dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka dalam aktivitas sehari-hari.
Misalnya, ketika mengingatkan Pasha untuk belajar tidak perlu dengan teriakan atau marah-marah seperti dulu, cukup dengan memberi pertanyaan ringan tentang materi belajar sebagai pancingan. Ternyata hasilnya cukup efektif, Pasha akan langsung bereaktif menjawab sembari membuka buku-buku pelajarannya. Praktis, ia pun akan mulai belajar dengan sendirinya.
Hal yang cukup sederhana namun sangat terasa manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai orangtua, aku merasa ada kemajuan yang sangat signifikan dalam kualitas kehidupan kami. Anak-anak menjadi lebih semangat belajar maupun bertingkah laku baik dan orangtua diberi keleluasaan untuk memerankan perannya secara lebih mudah, efektif dan efisien dalam turut mendidik serta mendukung Kurikulum Merdeka di dunia pendidikan Indonesia.
Hal ini menjadi bukti bahwa praktik pengimplementasian Kurikulum Merdeka secara mandiri adalah benar karena telah memenuhi tiga unsur implementasi, yaitu mandiri belajar, mandiri berubah ke arah yang lebih baik dan mandiri berbagi (kemdikbud.go.id).
Jadi tunggu apa lagi ? yuk bersama-sama dukung Semarak Merdeka Belajar untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik lagi. Suksesnya program Merdeka Belajar bukan hanya menjadi tanggungjawab pemerintah tapi juga kita semua.
Jika pemerintah, orangtua, guru, anak dan masyarakat luas saling bersinergi mendukung Merdeka Belajar, maka bersiaplah untuk menyongsong pembangunan pendidikan Indonesia yang lebih maju dalam mencetak generasi muda dengan karakter Pancasila baik secara kemampuan soft skills maupun hard skillsnya agar dapat berdaya saing di kancah dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H