Dari sini, jika diambil benang merahnya, maka sudah jelas bahwa seseorang yang memiliki waktu lebih banyak untuk bermedia sosial maka ia akan lebih berisiko terintervensi lebih besar.Â
Ia akan bermain dengan persepsinya sendiri dan cenderung kurang mengindahkan fakta-fakta logika.
Bisa dimaklumi, jika dari riset saya, lebih dominan ibu rumah tangga yang mudah terintervensi.Â
Namun, saya tertarik kepada satu orang ibu rumah tangga yang ternyata berada di kubu empat orang yang tidak terintervensi dimana ketiga lainnya adalah ibu pekerja kantoran.
Setelah saya kulik, ternyata sang ibu ini memang sosok yang memiliki prinsip independen. Ia mengaku tidak mau dipusingkan dengan media sosial.Â
Sama seperti tiga lainnya, ia menganggap media sosial hanya sebatas hiburan, tidak lebih.Â
Sang ibu juga mengaku tidak tertarik melihat isi HP suaminya atau dalam bahasa kekiniannya tidak kepo. Baginya, yang penting suami selalu pulang, bertanggungjawab dan tidak pernah kasar. Rumah tangga harus dilandasi kepercayaan, lanjutnya.
Lantas, seberapa mengkhawatirkan kah intervensi konten terhadap keharmonisan rumah tangga?
Tentu saja jika tidak disikapi dengan bijak akan sangat mengkhawatirkan. Tidak dapat dimungkiri, derasnya arus teknologi digital semakin menggeser cara pandang seseorang tentang kehidupan.
Bahkan, dilansir dari infosurabaya. id, perolehan data dari satu daerah menyebutkan bahwa media sosial menjadi penyebab perceraian tertinggi kedua setelah faktor ekonomi. Bahkan jumlahnya mengalami tren naik setiap tahun.
Kemudahan mendapat informasi akan sangat memengaruhi kerangka berpikir seseorang.Â