Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Anak Laki-Laki Bermain Boneka, Kenapa Tidak?

16 Januari 2023   16:59 Diperbarui: 16 Januari 2023   17:33 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak laki-laki bermain boneka (sumber:via lifestyle kompas)

Selama ini masih banyak masyarakat yang meyakini bahwa anak laki-laki tidak boleh bermain boneka. Menurut mereka, anak laki-laki yang bermain boneka akan tumbuh menjadi laki-laki yang "gemulai" atau dalam bahasa kekiniannya, transgender. Masih menurut mereka, boneka adalah mainan yang diperuntukkan hanya untuk anak perempuan, sehingga jika anak laki-laki memainkannya, maka kelak ia akan tumbuh menjadi laki-laki yang berjiwa dan berpenampilan perempuan.

Benarkah demikian ?

Stereotip ini sebenarnya sudah lama menjadi salah satu isu di kalangan pemerhati gender dan feminisme. Isu ini kemudian berkembang menjadi satu tatanan nilai atau norma yang dipercaya masyarakat bahwa anak laki-laki tidak boleh bermain boneka. Bukan hanya di kalangan masyarakat awam, nyatanya di sektor industri pun tak luput dari isu gender ini. 

Salah satu contoh, perusahaan mainan terbesar dan ternama saja masih menggunakan isu ini dalam strategi marketing mereka. Mereka membedakan mana jenis mainan anak laki-laki dan anak perempuan dalam katalog produk mainan mereka. Alhasil, jika pembeli anaknya laki-laki mereka akan membuka katalog mainan anak laki-laki yang isinya tembak-tembakan, mobil-mobilan, tentara-tentaraan, robot-robotan, pedang-pedangan, bola basket atau pesawat-pesawatan. Sementara pembeli yang memiliki anak perempuan akan membuka katalog mainan untuk anak perempuan yang isinya boneka, masak-masakan, dokter-dokteran, make up mainan, dll.

Dari sini kita bisa melihat bahwa stereotip "anak laki-laki tidak boleh bermain boneka" sangat berkembang pesat karena ada dukungan dari berbagai pihak. Perusahaan mainan terbesar dan ternama, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memecah stereotip, nyatanya justru terlibat dalam pengembangan stereotip, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Bagaimana Jika Anak Laki-Laki Bermain Boneka ?

Menurut para ahli, tidak ada satu pun penelitian yang membuktikan bahwa mainan dapat memengaruhi orientasi seksual seorang anak. Malah justru bermain boneka baik bagi anak laki-laki karena memiliki banyak manfaat bagi proses tumbuh kembangnya, misalnya sebagai stimulus motorik, mengembangkan bahasa anak, merangsang empati, melatih rasa kasih sayang, dll.

Oleh karena itu, para ahli secara tegas mengatakan bahwa tidak ada larangan bagi anak laki-laki untuk bermain boneka. Terutama di masa 0-3 tahun, anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, berada di fase belajar yang membutuhkan media mainan, dimana boneka dianggap sebagai mainan yang paling aman untuk mereka.

Orangtua tidak perlu merasa khawatir yang berlebihan jika anak laki-laki di usia bermain menyukai mainan boneka. Bahkan, sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Setiani (2014) tentang upaya mengurangi sikap egois anak-anak dilakukan melalui media boneka jari. Penelitian ini memberi hasil yang sungguh menggembirakan, dimana ternyata media boneka jari mampu menjadi teknik untuk meminimalkan perilaku egois anak di tingkat PAUD hingga mencapai angka 80%.

Ini membuktikan bahwa mainan boneka tidak membawa dampak pada disorientasi seksual anak laki-laki, sehingga mereka boleh bermain boneka, terutama untuk media bermain dan proses tumbuh kembangnya.

Bukan Boneka, Lantas Apa yang Memicu Anak Laki-Laki Tumbuh Menjadi Transgender ?

Menurut beberapa penelitian, banyak faktor pemicu seorang anak laki-laki yang tumbuh menjadi transgender, dan diantaranya tidak termasuk boneka. Lalu apa saja ?

Berikut beberapa faktor pemicu anak laki-laki tumbuh menjadi transgender, yaitu :

Pertama, pengalaman kekerasan seksual. Anak laki-laki yang pernah mengalami kekerasan seksual berpotensi besar mengalami disorientasi seksual. Mereka akan menjadi pribadi yang kehilangan orientasi pada dirinya sendiri sehingga mendapati orientasi seksualitas yang berbeda.

Kedua, otoritas orangtua. Orangtua dengan didikan yang otoriter ternyata juga dapat mengubah anak laki-laki menjadi kehilangan jati dirinya. Mereka menganggap bahwa otoritas orangtua membuat hidupnya tidak nyaman sehingga mereka pun melakukan pencarian jati diri yang membelok dari yang seharusnya demi mencari sebuah kenyamanan.

Ketiga, lingkungan yang toxic. Ya, tumbuh dan berkembang di lingkungan yang toxic dapat menjadikan anak laki-laki berubah haluan menjadi transgender, seperti misalnya lingkungan yang akrab dengan bulian, lingkungan kelompok transgender atau lingkungan yang kerap mempertontonkan aktivitas-aktivitas kekerasan.

Keempat, menganggap tabu pendidikan seks dini. Dianggap tabunya pendidikan seks dini menjadikan anak-anak justru mencari dan memeroleh informasi seksualitas dari sumber-sumber yang tidak jelas. Bukan hanya itu, anak-anak juga tidak bisa memahami fungsi-fungsi seksualitas secara benar. Kondisi ini bisa memicu terjadinya penyimpangan seksual dalam diri mereka.

Kelima, gangguan identitas gender. Faktor kali ini bersumber dari dalam diri anak. Ada penyakit-penyakit atau gangguan mental yang memang diderita oleh mereka, seperti depresi, skizofrenia, gangguan kecemasan, dll. Gangguan mental ini dapat diperparah dengan kualitas lingkungan yang buruk.

Lantas, Apa yang Harus Dilakukan Orangtua ?

Tidak dapat dimungkiri, orangtua adalah pondasi kesehatan mental anak. Anak-anak yang tumbuh sehat, baik secara fisik maupun mental, adalah anak-anak yang tumbuh berkembang dalam keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang.

Orangtua yang bijak adalah orangtua yang tak pernah berhenti mengedukasi dirinya sendiri, belajar setiap saat dan mampu mengupgrade ilmu yang dimilikinya seiring dengan perkembangan zaman.

Masa anak-anak adalah masa-masa bermain. Lewat aktivitas bermain, anak akan belajar banyak hal, melatih otot-otot motoriknya, merangsang otak dan meningkatkan kualitas kesehatannya.

Ketika ada pengkotak-kotakan dalam aktivitas bermain, dimana anak laki-laki tidak boleh bermain boneka, maka sudah saatnya para orangtua masa kini menghalau rasa cemas yang berlebihan dan turut mengedukasi masyarakat lainnya bahwa tidak ada masalah jika anak laki-laki bermain boneka.

Berikut beberapa hal bijak yang bisa dilakukan orangtua terhadap anak laki-laki yang bermain boneka :

Pertama, luangkan waktu yang cukup untuk menemani anak bermain. Selipkan pengertian-pengertian khusus kepada sang anak, misalnya tentang peran seorang ayah, tentang tanggungjawab, dll, tentu saja dengan bahasa yang sederhana dan dimengerti oleh anak melalui boneka tersebut.

Kedua, berikan edukasi seks dini. Edukasi seks ini dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana, seperti mengenalkan tentang perbedaan laki-laki dan perempuan, mengajarkan bagaimana melindungi bagian sensitif tubuh kita, bagaimana menghargai lawan jenis, dll.

Ketiga, pilih boneka yang sesuai usia dan peruntukannya. Selain aman untuk tingkat imajinasinya, boneka yang sesuai dengan usia anak dapat mengirim pesan edukasi yang lebih mudah diterima anak-anak.

Keempat, jalin komunikasi yang baik. Komunikasi adalah salah satu bagian terpenting dari proses parenting. Maka jangan pernah abai dengan komunikasi bersama anak. Anak-anak yang berada di keluarga dengan komunikasi yang baik akan tumbuh menjadi anak-anak yang mampu mendefinisikan dirinya sendiri, memahami mana yang baik dan tidak baik serta memiliki kemampuan problem solving yang lebih baik.

Kelima, stop segala bentuk kekerasan. Hindarkan anak-anak dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun verbal. Jauhkan anak dari drama traumatik yang akan berefek pada jangka panjang kehidupannya.

Keenam, ciptakan bonding yang baik. Bonding yang tercipta kuat antara orangtua dan anak dapat memengaruhi keamanan dan kenyamanan bagi keduanya. Bonding ini dapat diciptakan melalui banyak cara, seperti melakukan aktivitas menyenangkan bersama-sama, memberikan pelukan hangat, saling mendoakan atau becanda dan tertawa bersama.

Ketujuh, beri batasan waktu dalam bermain. Sebaiknya orangtua memberi batasan waktu bermain anak. Anak harus diajarkan disiplin waktu, dimana ia boleh bermain, dimana ia harus beristirahat, makan, mandi atau melakukan aktivitas lainnya.

Pada akhirnya, boneka tidak memengaruhi perilaku menyimpang anak, selama orangtua mampu bersikap bijak dalam mendidik dan membesarkan anak. Tidak ada hal terbaik bagi tumbuh kembang anak selain kasih sayang dan perhatian yang tulus dari orangtua serta dukungan dari lingkungan sekitar yang sehat.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun