Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tanpa Ranking, Rapor Bukan Ajang Kompetisi Melainkan Evaluasi

2 Januari 2023   21:15 Diperbarui: 3 Januari 2023   19:26 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto pembagian rapor | Sumber: foto.kompas.com 

Beberapa waktu lalu saya mengambil rapor anak di sekolah. Tidak seperti biasanya di mana ada semacam acara seremonial untuk mengumumkan nama-nama siswa  yang meraih peringkat kelas. Bukan hanya itu, pihak sekolah pun sudah menyiapkan kejutan hadiah bagi siswa yang namanya disebut.

Tentu ini akan menjadi acara yang sangat dinantikan bagi orangtua yang selama ini anaknya memang langganan juara kelas. Siapa yang tidak bangga, ketika nama buah hatinya dipanggil ke depan dan meraih trophy serta hadiah. Wajah-wajah sumringah pun menghiasi panggung sang jawara kelas.

Sementara itu, beberapa orangtua dan siswa yang tidak disebut namanya hanya kebagian bertepuk tangan melihat prestasi teman-temannya di barisan penonton. Tidak mengapa, mereka tetap tersenyum dan berbesar hati mengakui keunggulan nilai sang juara. 

Para orangtua siswa yang "tidak juara" juga tidak protes. Mereka tetap menyambut baik seremonial terima rapor. 

Namun, meski demikian, sangat manusiawi jika orangtua menginginkan anaknya juara kelas. Bagaimanapun juga menjadi juara kelas adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi orangtua maupun sang anak itu sendiri.

Tapi kali ini berbeda, tidak ada lagi acara seremonial pengambilan rapor dan pengumuman juara kelas. Para orangtua hanya dipersilakan masuk ke ruang kelas masing-masing. 

Selanjutnya rapor dibagikan secara personal. Bukan hanya dibagikan, namun ada dialog tentang perkembangan anak selama di sekolah oleh guru kepada orangtua. Jangan berharap ranking ditulis di rapor. Isi rapor hanya tentang perkembangan belajar dan perilaku anak di sekolah. 

Namun, jika orangtua penasaran dengan peringkat kelas atau ranking, maka guru akan memberitahukan dengan menunjukkan daftar urutan peringkat kelas secara personal. Maka, dengan cara ini hanya guru dan orangtua yang tahu ranking sang anak.

Hakikat Sekolah bagi Anak

ilustrasi siswa sekolah (sumber:kompas.com)
ilustrasi siswa sekolah (sumber:kompas.com)

Sekolah pada hakikatnya bukan hanya sekadar lembaga pendidikan yang bersifat formal maupun non formal. 

Lebih daripada itu, Yusran Pora, seorang penulis dan pengamat pendidikan mengemukakan makna dari sekolah adalah merupakan tempat menambah wawasan dan pengetahuan serta tempat bagi guru dan siswa untuk belajar bersama, mengamati sesuatu yang ada di sekitar secara bersama-sama, tempat siswa membentuk jati diri dan karakter agar mereka paham bagaimana harus bersikap terhadap sesama manusia dan lingkungannya (2003).

Senada dengan Yusran Pora, para ahli pendidikan lainnya juga memaknai sekolah sebagai tempat belajar dan membangun sikap dan karakter yang baik bagi siswa. Bahkan, guru juga terlibat dalam hal sama-sama belajar dengan siswa.

Dari sini, bisa kita simpulkan bahwa hakikat sekolah adalah tempat belajar dan mengajar, baik ilmu pengetahuan maupun tentang ilmu kepribadian. Ini artinya, harusnya tidak ada kompetisi di dalam sekolah, sebab mereka yang di sekolah tujuannya adalah belajar dan mendapat informasi ilmu pengetahuan. 

Berbeda jika berada di ajang olimpiade matematika, lomba menyanyi atau kontes komputer, maka di situlah memang tempat untuk berkompetisi, bukan di sekolah saat proses belajar mengajar.

Prestasi yang Sesungguhnya Bagi Siswa

Jika hakikat sekolah adalah tempat untuk belajar dan memperoleh ilmu pengetahuan, maka sejatinya prestasi siswa bukan diukur dari angka. Yang demikian akan membentuk pola pikir kita bahwa prestasi itu ya kalau jadi juara kelas.

Padahal, prestasi yang sesungguhnya bagi siswa adalah progres belajar siswa. Misalnya, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang egois menjadi anak yang penuh empati atau dari yang malas menjadi rajin, dll.

Oleh karena itu, prestasi siswa di sekolah tidak bisa diukur dengan predikat juara kelas atau ranking. Hal ini disebabkan, progres belajar setiap anak memiliki keunikan masing-masing. Dan Ketika siswa mengalami perkembangan dalam aktivitas belajar di sekolah, maka itu artinya ia sudah berprestasi.

Memang tidak mudah untuk menilai prestasi setiap siswa. Guru harus benar-benar mampu melihat dan mengenal siswa secara mendalam, sebab dari situlah guru bisa tahu perkembangan siswanya, bukan hanya dari angka atau nilai semata, melainkan juga talenta siswa.

Rapor Bukan Ajang Kompetisi Melainkan Evaluasi

Setiap anak terlahir istimewa dan mempunyai kelebihannya masing-masing. Pun di sekolah, tidak ada yang namanya siswa bodoh. Semuanya pintar dengan kapasitasnya masing-masing. Mereka punya kesempatan berprestasi yang sama. Mereka juga punya kesempatan untuk diapresiasi yang sama.

Jujur, saya mendukung pola baru di sekolah dengan menerapkan tidak menuliskan ranking di rapor. Cukup guru menjabarkan progres belajar anak didiknya kepada orangtuanya. Rapor bukan ajang kompetisi, melainkan evaluasi.

Jika ranking selama ini dianggap sebagai reward pemacu semangat belajar siswa, maka ini bisa diubah dengan melakukan evaluasi secara persuasif. Saya rasa ini jauh lebih adil. Bukan hanya mereka yang langganan juara yang tersemangati tapi seluruh siswa tanpa pandang bulu dan status juga akan merasa tersemangati.

Peran Orangtua untuk Membuat Anak Sekolah dengan Gembira

Anak saya 3 orang. Sulung kelas 1 SMA, tengah kelas 6 SD dan bungsu kelas 4 SD. Berdasar informasi personal dari guru, hanya anak sulung saya yang mendapat ranking. Anak kedua dan ketiga tidak.

Saya tidak pernah merisaukan hal tersebut. Bagi saya, ketiganya luar biasa. Saya melihat bukan dari hasil akhirnya, tapi proses bagaimana ketiganya berjuang belajar selama ini. Maka saya selalu katakan kepada mereka, "Rapor kalian baik semua...kakak yang bahasa Inggrisnya keren, Abang yang main sepak bolanya hebat, dan adik yang jago mengarang..."

Dari situ saya bisa melihat dengan jelas wajah-wajah yang gembira. Ketiganya terlihat percaya diri dengan kelebihannya masing-masing. Tidak ada yang merasa minder atau berkecil hati ketika salah satu ranking dan yang lain tidak.

Bagi saya, pemandangan seperti ini jauh lebih indah. Sekolah harus menjadi tempat belajar yang nyaman bagi anak-anak. Anak-anak harus belajar dengan gembira. Jangan sampai sekolah justru menjadi momok bagi mereka, sebab di sinilah mereka belajar ilmu pengetahuan serta membentuk kepribadian yang baik.
***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun