Dulu ketika saya masih remaja, saya paling suka berlama-lama di kamar hanya untuk menulis diary.Â
Setiap peristiwa yang saya alami selalu saya tuangkan ke dalam tulisan di diary. Isinya macam-macam, ada sedih, senang, marah, cemburu, protes, dll.Â
Bentuk tulisannya juga banyak, ada tulisan curhatan, puisi, cerita mini sampai cerita bergambar. Meski beragam, namun intinya tetap menuangkan segala isi hati dan menceritakan aktivitas sehari-hari.
Selain suka menulis di diary, saya juga suka mengoleksi diary. Kalau punya uang, saya tidak tertarik membeli baju, sepatu, tas atau sekadar nongkrong jajan sama teman-teman.
Saya lebih suka membeli diary yang modelnya bagus dan menarik dengan warna-warna yang cantik. Rasanya ada kepuasan tersendiri ketika bisa memiliki diary yang diinginkan. Sekali membeli saya bisa memborong 4-5 diary.
Namun, di balik kesukaan saya itu, ternyata mama kurang mendukung. Kerap saya mendapat omelan ketika mama tahu saya tengah menulis diary.Â
Mama bilang, "Kok nulis diary aja! Daripada gitu bagus bantu mama nyapu! Lebih bermanfaat bantu orangtua!"Â
Saya tidak pernah menjawab, hanya diam sembari berhenti menulis dan langsung menyambar sapu, menyapu rumah.
Meski tidak melarang secara tegas, namun saya tahu mama kurang suka jika saya beraktivitas menulis.Â
Mama menganggap jika kegiatan menulis hanya buang-buang waktu, tidak ada manfaatnya, tidak menghasilkan apa-apa, dsb. Sebuah anggapan yang menurut saya wajar bagi mereka yang memang tidak hobi menulis.