Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tidak Harus Juara, Bertingkah Laku Terpuji Juga Prestasi yang Harus Diapresiasi

2 Maret 2022   14:39 Diperbarui: 3 Maret 2022   14:15 1770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak yang berprestasi adalah kebanggaan orangtua. Tak sedikit orangtua yang berlomba-lomba melakukan berbagai macam cara agar anak-anaknya bisa memiliki prestasi. 

Ada yang mengikutkan anak-anaknya dengan berbagai jenis les, memadatkan waktu anak dengan berbagai kegiatan selain sekolah atau berusaha mengatur jadwal anak dengan belajar setiap hari. 

Anak dibentuk dan disiapkan sedemikian rupa untuk dapat memenuhi keinginan orangtua yaitu memiliki anak yang berprestasi dan bisa dibanggakan. 

Begitu tinggi harapan orangtua, hingga kerap mereka lupa bahwa anak-anak punya hak untuk bermain dan bersenang-senang. Mereka punya hak untuk bebas menjadi dirinya sendiri. 

Aktivitas yang terlampau padat cenderung tidak ramah bagi tumbuh kembang anak. Anak akan banyak kehilangan momen-momen berharga mereka yang tak akan kembali lagi. Akibatnya, anak akan tumbuh dengan proses yang lebih cepat tanpa melalui tahap-tahap yang normal.

Orangtua yang menyibukkan anak untuk mengejar prestasi akan membentuk pola berpikir yang lebih mengutamakan "hasil" ketimbang "proses". Anak akan terobsesi untuk menjadi juara sehingga mengabaikan nilai-nilai sportifitas di dalamnya. 

Anak-anak seperti ini akan mengalami kesulitan menerima kekalahan. Mereka akan menganggap bahwa kekalahan adalah suatu hal yang sangat memalukan. Mereka juga tidak akan mudah menghargai lawan-lawannya. Yang ada dalam benak mereka hanya bagaimana agar mereka menang dan membuat orangtua bangga.

Masih teringat kasus Jennifer Pan, seorang remaja nan cerdas berdarah vietnam namun tinggal di Toronto Kanada?

Dilansir dari Elitereaders, remaja ini telah membunuh orangtuanya akibat tekanan untuk menjadi anak pintar dan berprestasi di sekolahnya. Aksi nekatnya ini dilakukan karena ia merasa depresi dengan tuntutan kedua orangtuanya.

Sebagai keluarga perantauan, Orangtua Jennifer Pan harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga di Kanada. Jennifer yang memiliki kecerdasan tinggi tentu menjadi tumpuan dan harapan orangtuanya. 

Mereka berharap penuh agar Jennifer menjadi anak yang berprestasi dan sukses. Begitu keras dan kakunya, bahkan hubungan sosial Jennifer dengan teman-temannya sangat dibatasi. Jangankan memiliki teman spesial (pacar), berteman biasa saja sudah dilarang.

Selain belajar, Jennifer Pan banyak menghabiskan waktunya untuk mengikuti les piano dan skating yang merupakan keinginan orangtuanya. 

Saking kerasnya jadwal belajarnya, Jennifer sempat merasa drop di sekolahnya. Nilainya anjlok sehingga ia hanya masuk di kelas B yang bukan kelas unggulan. 

Akibatnya, ia pun memaksakan diri untuk berbohong kepada orangtuanya. Kebohongan demi kebohongan terus dilakukannya, hanya untuk memuaskan harapan orangtuanya serta rasa takut mengecewakan orangtuanya. Bahkan, lambat laun ia tak lagi sekolah dan memilih untuk berdiam diri di perpustakaan ketika jam sekolah.

Hingga perlahan namun pasti, kebohongan pun terungkap. Bisa ditebak, betapa marahnya kedua orangtua Jennifer. Mereka semakin memperketat kehidupan Jennifer. Jennifer tetap wajib melanjutkan sekolahnya dan dilarang untuk berteman dekat dengan laki-laki. 

Hal itu sungguh membuat Jennifer depresi, kecewa dan dendam dengan orangtuanya hingga terpikir olehnya untuk menghabisi nyawa kedua orangtuanya dengan dibantu oleh teman-temannya.

Di kisah lain, ada seorang juara olimpiade internasional yang tidak lolos masuk PTN melalui jalur SNMPTN. 

Cuitannya di media sosial sempat viral dan hal yang membuat miris adalah ungkapan kekecewaannya yang sempat merasa bahwa prestasinya selama ini hanyalah sia-sia karena kegagalan tersebut (Grid.ID, 2020). Padahal, sebenarnya kegagalan itu adalah hal yang biasa. Harusnya, juara sejati adalah mereka yang memiliki mental tangguh, sportif menerima kekalahan dan kegagalan.

Masih banyak lagi kisah-kisah miris dan mengharukan dari anak-anak yang depresi karena tuntutan orangtua untuk menjadi anak yang cerdas dan berprestasi. 

Ini sekaligus menjadi bukti bahwa masih banyak orangtua yang lebih bangga dengan prestasi yang terukur. Padahal, prestasi itu tidak harus menjadi juara kelas atau juara suatu perlombaan. 

Anak-anak yang memiliki tingkah laku terpuji, mandiri atau sopan dan bertanggung jawab juga merupakan prestasi yang harus diapresiasi oleh orangtua.

Belajar dari Pendidikan Jepang, di mana siswa justru lebih diutamakan belajar pendidikan karakter, perilaku dan sopan santun ketimbang ilmu pengetahuan. 

Selebihnya, kemampuan umum lainnya akan diperoleh secara berproses belajar. Oleh karena itu, pendidikan di Jepang sangat menghargai proses ketimbang hasil dan nilai. 

Artinya, proses peningkatan kemampuan setiap individu akan berbeda dengan individu lainnya, sehingga nilai dan hasilnya juga tidak terpatok pada satu unsur angka saja. 

Setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk meraih prestasi dan kesuksesan sesuai dengan kemampuan dan bakat minatnya masing-masing.

Melihat hal itu, tentu kita harus menyadari bahwa kemampuan setiap anak adalah tidak sama. Pun dengan bakat dan minatnya. 

Orangtua tidak bisa menghendaki sedemikian rupa agar anak menjadi seperti apa yang diinginkannya.

Kemenangan Adalah Bonus, Proses Perjuangan Itu Yang Utama

Sebenarnya, ketika seorang anak menjadi juara, itu adalah bonus. Kemenangan sesungguhnya adalah proses yang telah dilaluinya. 

Jadi, anak yang juara dan yang tidak juara sebenarnya telah memiliki kemenangannya. Yang membedakan hanya faktor juara atau tidak. Hal ini sangat wajar, sebab kuantitas juara memang terbatas. Namun, ketika anak sudah berani tampil atau sudah belajar giat, itu artinya anak sudah memiliki kemenangannya.

Meski kita setuju bahwa setiap orangtua pasti ingin melakukan yang terbaik untuk anaknya, namun juga jangan lupa bahwa anak merupakan individu yang berbeda dengan orangtua. Mereka punya keinginan dan kehidupan sendiri.

Menurut Baumrind, Diana (1967) Orangtua hanya memiliki tugas mengontrol, membimbing dan mendampingi anak-anaknya dalam proses tumbuh kembang dan pendewasaannya. Ini artinya, tidak dibenarkan bagi orangtua untuk menentukan bagaimana kehidupan sang anak.

Cukup berikan kesempatan anak untuk menikmati setiap fase tumbuh kembangnya. Tumbuhkan rasa percaya dirinya dengan tidak mendikte segala aktivitasnya. Kenalkan anak dengan kemandirian dan rasa tanggungjawab. 

Tempah mereka untuk menjadi pribadi yang sportif. Anak-anak yang kuat akan jauh lebih bisa menghadapi tantangan kehidupan ketimbang anak-anak yang terlalu banyak tuntutan. Biarkan anak-anak mengembangkan dirinya sendiri. Peran orangtua hanya mengontrol, membimbing dan mendampingi tanpa harus mengintervensi secara mutlak.

Tidak harus juara, percayalah, anak-anak yang memiliki tingkah laku terpuji itu juga prestasi, orangtua harus mengapresiasi !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun