"aku nggak bisa Tan..." suaranya begitu bulat
Aku tetap bersimpuh, "aku mohon Ram...pertahankan cinta kita..."
"maaf, aku nggak bisa..."
Rama berlalu meninggalkanku. Tak peduli dengan derai airmataku. Semuanya tak lebih kaleng kosong bekas minuman soda. Dihempaskan begitu saja saat isinya habis.
***
Hampir tiga bulan aku berada dalam ketidakpastian. Rumahtangga yang kubina sekian tahun bersama Rama sedang berada di ujung tanduk. Aku hanya bisa berbincang dengan kenangan yang telah begitu banyak kita rajut. Entah kenapa, semua terasa begitu sangat berkesan bagiku.
Setiap tengah malam aku terbangun, berharap ada pesan masuk darinya. Marah-marah karena aku ketiduran tak mengangkat teleponnya, atau sibuk memojokkan dan menyalahkan aku atas segala yang terjadi dalam rumahtangga kita. Karena cuma itulah yang ia lakukan selama ini. Membuatku jengah tapi tak pernah lelah. Membuatku sakit hati tapi tak pernah berhenti mencintai.
Hp ku kosong. Tak ada sedikitpun jejak dering ataupun pesan darinya. Dan aku mulai panik. Panik dengan diriku sendiri. Panik karena aku mulai merasa hampa. Merasa sendiri. Merasa kehilangan. Aku rindu. Rindu teramat sangat.
Di sepanjang tengadah tanganku, tak henti ku memohon pada Sang pemilik Hidup, selamatkan rumahtanggaku...hanya itu...hanya itu...
***
Enam bulan berlalu, tak ada kabar apapun darinya selain surat panggilan persidangan perceraian yang sampai di meja kantorku. Aku terhenyak. Sesak sekali dadaku. Tak kuasa kutahan buliran airmata yang menyeruak keluar dari pelupuk. Beberapa teman memelukku. Menyabarkanku. Menguatkanku. Sesaat aku kuat. Sesaat aku limbung.
Nyatanya aku tak bisa merubah takdir. Sekuat apapun aku memohon, jika takdir berpihak pada perpisahan, maka aku hanya bisa tertunduk. Seketika dunia ini terasa asing bagiku. Tak ada lagi yang bisa kupercaya. Satu-satunya orang yang kupercaya menitipkan hati dan harapanku telah meninggalkanku.
Aku tak tahu, ketukan palu hakim bukan saja meruntuhkan apa saja yang ada dalam diriku, tapi ternyata juga membuatku justru semakin tegar menghadapi kenyataan. Tangisku yang sedari tadi pecah kini berganti senyuman. Entah senyuman kepedihan mendalam atau senyuman kelegaan. Yang jelas, aku tersenyum.
Kuhampiri lelaki yang kini telah jadi mantan suamiku dengan begitu tenangnya. Aku sedang tidak berpura-pura kuat. Aku memang sedang kuat tiba-tiba.
"mungkin bagi kamu ini adalah akhir dari segalanya...tapi bagiku ini justru adalah awal..." ucapku lirih
Ia menatapku lekat seolah tak memahami apa yang kuucapkan.
"saat inilah awal dimulainya pembuktian, seberapa besar cintaku padamu...seberapa setianya aku padamu...seberapa kuatnya aku bertahan tak memberikan hatiku pada orang lain...seberapa sanggupnya aku menunggu kamu kembali padaku meski kamu sudah meninggalkan aku...sampai ku tutup usia..."
Aku berpaling darinya. Melangkah dengan pasti. Meninggalkannya yang terdiam membisu. Menyusuri koridor Pengadilan Agama yang menjadi tempat akhir baginya sekaligus awal bagiku. Tak ada lagi airmata. Tak ada lagi kerinduan. Tak ada lagi kenangan. Namun kupastikan akan selalu ada cinta untuknya. Hanya untuknya. Sampai waktu yang akan membuktikannya.
Sei Rampah, Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H