Cita-citaku...kepengen jadi dokter...
Cita-citaku...ingin jadi insinyur...
Cita-citaku...menjadi anak pinter...
Cita-citaku...ingin jadi presiden...
Ingat nggak lagu Susan Punya Cita-Cita yang dinyanyiin oleh Susan dan Ria Enes ? lagu yang sangat populer di era 90-an. Lagu yang menggambarkan cita-cita sebuah boneka bernama Susan yang ingin menjadi dokter, insinyur bahkan presiden. Lagu ini tentu saja mewakili cita-cita kebanyakan anak-anak pada umumnya, kalau nggak jadi dokter, guru, insinyur, presiden, pilot, polisi atau tentara.
Jujur saja, saya cukup kagum dengan kepopuleran profesi-profesi tersebut di mata anak-anak. Awalnya saya berpikir, mungkin karena profesi tersebut cukup banyak dan sering dijumpai anak-anak dimanapun.Â
Namun, pada akhirnya naluri saya juga bertanya-tanya, kalau profesi tersebut populer karena sering dijumpai anak-anak, lantas kenapa profesi sebagai petani tidak termasuk dalam profesi yang populer dan dicita-citakan oleh mereka? Padahal petani itu kan sangat mudah ditemui, apalagi di lingkup pedesaan. Sampai saat ini, saya belum pernah mendengar cita-cita seorang anak yang saya tanyai menjawab "ingin jadi petani", hmmm...
Dari realita ini, saya mendadak miris, membayangkan bagaimana mungkin profesi petani yang tak kalah mulia dengan guru atau dokter begitu termarginalkan, seolah-olah pekerjaan menjadi petani itu bukan pekerjaan yang menarik dan menjanjikan. Padahal, berkat keringat petani lah kita bisa makan, bisa ekspor hasil pertanian bahkan bisa mewujudkan swasembada pangan.
Saat ini kita tengah berada pada era milenial yang serba digital. Teknologi serba modern dan canggih menjadi alat bantu manusia untuk mencapai tujuan, visi dan misi dengan lebih cepat, efektif dan efisien. Tanpa penguasaan terhadap penggunaan teknologi modern tersebut, maka bisa dipastikan kita akan tertinggal jauh yang berimbas pada lambatnya perkembangan pertanian di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Lantas, siapa yang bisa dan mampu menguasai teknologi terbarukan tersebut jika regenerasi petani tidak berjalan dengan baik. Kalau hanya mengandalkan kecakapan petani-petani konvensional yang rata-rata berada pada usia tua, tentu ini adalah upaya yang kurang efektif. Selain daya tangkap mereka untuk belajar telah menurun, tenaga yang tidak maksimal, mindset yang masih berada jauh di bawah era teknologi modern serta tingkat produktifitas yang minim, para petani konvensional juga memiliki keterbatasan dalam akses teknologi sehingga justru menyulitkan, bukan hanya diri mereka sendiri tapi juga dunia perkembangan pertanian secara lebih luas.Â
Akibatnya, yang seharusnya inovasi dilakukan untuk penghematan anggaran dengan hasil yang maksimal, malah sebaliknya, anggaran membesar namun hasil tidak seperti yang diharapkan.