Dulu, saat media digital belum se-euforia saat ini, saya belum mengenal istilah ujaran kebencian. Kalau tersinggung karena ucapan seseorang mungkin akan dengan cepat teredam dan terselesaikan. Beda dengan saat ini. Ujaran kebencian tercipta bukan saja menimbulkan ketersinggungan antar individu tapi juga sudah merebak menjadi kebencian oleh sekelompok orang hingga meluas tanpa terkendali.
Jadi, sangat dibutuhkan kehati-hatian dalam berujar di media sosial. Pemilihan kata harus betul-betul diperhatikan untuk menghindari multitafsir bagi para pegiat media sosial lainnya. Dan kini harus disadari bahwa berujar di media sosial nyatanya jauh lebih berisiko tinggi menimbulkan kesalahpahaman dan ketersinggungan dibandingkan berujar secara langsung.
Jancuk bagian dari budaya ?
Di setiap daerah pasti kita akan menemukan bahasa-bahasa dan ujaran-ujaran yang khas dan berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Ujaran-ujaran khas daerah tersebut terbentuk dari unsur budaya komunikasi pada daerah tersebut yang telah dikonstruksi dan disepakati bersama, sehingga menjadi alat komunikasi yang lebih akrab digunakan pada aktifitas sehari-hari.
Selain jancuk yang populer di kalangan arek-arek suroboyo, ada juga ujaran yang memiliki makna yang mirip dengan jancuk, seperti kimbek di medan atau tai laso di sulawesi. Semua ujaran itu merupakan ciri khas dan bahkan dianggap sebagai salah satu bentuk identitas diri pada masyarakat daerah tersebut.
Budaya tidak akan pernah terlepas dari pengertian suatu kelompok individu, dimana setiap kelompok memiliki suatu kekhasan yang membedakannya dengan kelompok lainnya. Budaya tersebut dipahami sebagai budaya dalam arti sosial (Dayakisni, 2004:9). Salah satu contoh paling konkrit dalam mendefinisikan makna budaya ini adalah penggunaan kata jancuk di kalangan arek-arek suroboyo.
Maka, sudah jelas lah bahwa ujaran jancuk yang sangat populer dan melekat di identitas diri masyarakat surabaya adalah bagian dari budaya komunikasi yang ada. Selanjutnya mengapa saya sebut jancuk sebagai alat komunikasi ? sebab ujaran jancuk sendiri merupakan bahasa yang sangat sederhana namun terbukti dapat menyampaikan pesan pada si penerima pesan sehingga suasana komunikasi yang tercipta menjadi komunikatif.
Belajar dari budaya "jancuk", maka sejatinya ujaran kebencian bukan hanya serta merta terletak pada jenis atau ungkapan yang muncul tapi juga harus dilihat secara keseluruhan maksud dan tujuan pengungkapannya. Oleh karena itu, para pengguna media sosial harus memiliki sense of empathy, knowledge dan attitude yang baik dalam menggunakan media daring tersebut. Keterbatasan berkomunikasi dalam teknologi harus disikapi dengan sangat bijak agar tidak terjadi yang namanya ujaran kebencian. Bahkan, ujaran "sayang" yang memiliki makna baik jika tidak diposisikan pada ranah yang tepat maka akan dapat berubah menjadi ujaran yang memicu kesalahpahaman dan kemarahan.
Secara pribadi, mental seorang pengguna media sosial dituntut harus "tahan banting", tidak mudah marah, tidak mudah terpancing, selalu berpikir logis dan realistis, menyadari bahwa media sosial hanya media maya yang segala sesuatunya bisa terjadi. Dengan mental yang demikian, tentu sesuatu yang dianggap "ujaran kebencian" tidak akan berkembang menjadi suatu konflik berkepanjangan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H