Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar dari Budaya "Jancuk"

4 Maret 2019   16:19 Diperbarui: 4 Maret 2019   19:27 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber:merdeka.com)

Pernah dengar kata Jancuk ? kalau kalian orang jawa timur atau mungkin pernah tinggal di Jawa Timur, khususnya Surabaya dan sekitarnya pasti pernah mendengar atau bahkan sering menggunakan istilah Jancuk dalam penggunaan kosakata sehari-hari.

Ya, Jancuk adalah sebuah kata yang biasa digunakan oleh arek-arek Jawa Timur pada obrolan yang ringan sebagai bentuk ekspresi tentang mewakili berbagai perasaan. Bisa digunakan saat sedih, kecewa, menyesal, terkejut atau bahkan saat bahagia sekalipun. Ada sebagian orang yang menafsirkan Jancuk sebagai kata-kata yang kasar dan bermakna konotasi, sebab pada sebagian orang juga menggunakan kata Jancuk untuk mengumpat.

Jika tidak terbiasa dengan penggunaan kata Jancuk, kemungkinan besar orang akan merasa tersinggung. Namun, bagi mereka yang tahu betul bagaimana menggunakan kata Jancuk, maka Jancuk bisa menjadi salah satu media keakraban dan simbol komunikasi yang intim.

Beberapa waktu lalu, saya datang ke Surabaya setelah sekian lama tinggal di Medan. Saya bertemu dengan teman lama yang orang asli surabaya. Pertama kali bertemu, begini sapaannya "Jancuk koen Fin...wes suwi tenan gak tau mrene, Jancuk kangen aku...!" (Jancuk kamu Fin, sudah lama tak datang ke Surabaya, Jancuk rindu aku) sambil kemudian memeluk saya.

Disitu saya melihat ekspresi wajahnya yang sumringah dan menyambut saya dengan hangat. Meski dia menyebut saya Jancuk. Barangkali, jika saya tidak melihat konteksnya dengan lengkap, mulai dari bagaimana ekspresi wajahnya, bagaimana nada suaranya sampai bagaimana sikapnya, bisa saja saya tersinggung karena disebutnya Jancuk, tapi kenyataannya saya justru tertawa lepas dan sangat gembira dengan "kata Jancuk-nya".

Saya memahami bahwa Jancuk jika digunakan pada konteks yang baik maka akan bermakna baik, sebaliknya jika digunakan pada konteks yang tidak baik maka dapat menimbulkan ketersinggungan. Kata Jancuk bisa berkembang menjadi salah satu ujaran bernada kebencian.

Saya berpikir, jika demikian, maka sebenarnya setiap kata memiliki potensi untuk berubah menjadi ujaran kebencian. Tergantung konteks dan bagaimana penggunaannya. Maka, tidak dapat dimungkiri jika ujaran kebencian pada era saat ini sangat berkembang pesat justru disaat teknologi canggih yang serba digital semakin maju. Mengapa ? sebab di zaman serba digital, orang tak pernah bisa melihat "keutuhan" sebuah ujaran. Setiap pengguna media digital memiliki akses melihat konteks sebuah berita secara keseluruhan sangat terbatas sehingga kerangka berpikir mereka dipaksa untuk menerima setiap ujaran/ berita hanya sesuai dengan persepsi masing-masing (tidak secara keseluruhan).

Di media sosial, setiap ujaran dilambangkan hanya melalui simbol-simbol. Sedangkan simbol-simbol tersebut sangat terbatas untuk merefleksikan setiap ujaran. Karena itulah, setiap ujaran yang disampaikan melalui media online seperti media sosial sangat rentan memicu perpecahan akibat banyaknya persepsi yang terbentuk.

Berujar Langsung VS Berujar di Media Sosial

Dengan ujaran yang sama, nyatanya ujaran langsung dengan ujaran melalui media sosial memiliki dampak yang berbeda. Ketika saya dikatakan Jancuk secara langsung oleh teman saya, saya tidak merasa keberatan bahkan kami semakin terlihat akrab. Namun akan berbeda jika saya dikatakan Jancuk di media sosial, mungkin saya bisa terpicu marah. Hal tersebut terjadi karena ketika Jancuk dikatakan secara langsung, saya bukan hanya fokus pada kata Jancuknya tapi lebih dari itu, saya juga melihat ekspresi teman saya, sikap dan nada yang diucapkannya, sehingga saya bisa memastikan bahwa ujaran Jancuk tersebut memiliki makna candaan atau lebih tepatnya bentuk suatu keakraban.

Berbeda ketika disampaikan di media sosial, saya tidak dapat melihat ekspresinya, sikapnya bahkan nada suaranya saat berkata Jancuk tersebut. Semuanya hanya ada dalam "permainan" pikiran saya saja. Saya hanya berupaya menebak-nebak maksud dari ungkapan Jancuk tersebut. Keterbatasan inilah yang memberikan peluang besar terjadinya kesalahpahaman dan kekacauan sehingga berakhir dengan apa yang dinamakan "ujaran kebencian".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun