Momen Lebaran atau Hari Raya merupakan salah satu momen besar di Indonesia. Butuh kesiapan di segala bidang untuk menyambut Hari Raya bagi umat Muslim. Banyak faktor yang melatarbelakanginya, diantaranya adalah faktor tradisi yang telah terbentuk di masyarakat, mulai dari menyambut puasa hingga jelang Hari Raya. Segala bentuk kebutuhan Hari Raya menjadi salah satu dasar diberikannya tunjangan yang pada akhirnya diberi nama Tunjangan Hari Raya atau disingkat THR.
Tentu saja hal ini semestinya diapresiasi oleh masyarakat dengan sukacita. Ini menjadi salah satu bukti bentuk kepedulian pemerintah terhadap tradisi dan budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat. Meski di lapangan, THR sendiri dapat diberikan secara swakelola, bagi mereka yang bukan pekerja pemerintah (non ASN). Tapi, tetap pemerintah terus memantau dengan cara menghimbau bagi seluruh perusahaan yang ada agar memberikan THR kepada pekerjanya masing-masing. Meski demikian, besaran THR bagi masing-masing individu adalah berbeda. Besaran THR ASN jelas berbeda dengan besaran THR pekerja swasta, BUMN, dll.
Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi beserta Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan secara resmi mengenai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2018 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2018 yang menerangkan tentang pemberian THR dan Gaji 13 bagi kalangan ASN beserta besaran dan komponen-komponennya.Â
Secara akuntabilitas, langkah tersebut memang harus diumumkan secara tersiar nasional, karena berkaitan dengan pencegahan kesimpangsiuran berita yang berkembang di masyarakat sekaligus sebagai wujud transparansi bagi pemerintah dalam mengelola keuangan negara.
Namun langkah baik tersebut tidak serta merta mendapat sambutan yang positif dari masyarakat, terutama masyarakat yang berasal dari kalangan selain ASN. Beberapa kalangan menilai pengumuman besaran THR bagi ASN (yang mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya) justru menjadi pemicu kecemburuan sosial di masyarakat.
Banyak masyarakat yang mengeluhkan kenapa harus ASN saja yang menikmati kenaikan THR? Kenapa seolah-olah pemerintah begitu mengistimewakan ASN? Masyarakat umum menganggap bahwa ada ketimpangan yang begitu mencolok antara ASN dengan non ASN terkait pemberian THR. Kenyataan ini seolah menjadi blunder bagi pemerintah yang bermaksud baik mengumumkan tentang THR bagi ASN.
Tidak berhenti di situ saja. Kecemburuan sosial yang terjadi di masyarakat terus berlanjut, bukan saja membahas tentang THR tapi juga hal-hal lain terkait dengan ASN, mulai dari penilaian negatif terhadap kinerja ASN, anggapan buruk terhadap tingkat disiplin ASN hingga kasus-kasus praktik KKN di tubuh ASN. Mereka menyoroti bahwa ASN dianggap kurang layak untuk memperoleh kenaikan THR yang cukup signifikan.
Lantas, wajarkah kecemburuan sosial itu terjadi? dan kenapa hanya THR ASN saja yang mendapat sorotan? Kilas balik, bahwa pengumuman besaran THR hanya dilakukan oleh kalangan ASN saja, tidak dengan kalangan swasta atau BUMN. Hal ini tentu saja menjadi perbedaan yang cukup tajam antara ASN dan pegawai swasta atau BUMN. Dengan pengumuman tersebut, masyarakat secara luas dapat mengetahui bagaimana ASN memperoleh THR tanpa memiliki perbandingan apapun.
Mereka sama sekali tidak mengetahui bagaimana dengan besaran THR bagi pegawai swasta dan BUMN, sehingga mereka tidak dapat membandingkan antara keduanya. Padahal, kenyataannya tidak sedikit perusahaan swasta atau BUMN justru memberikan besaran THR yang jauh lebih besar ketimbang besaran THR ASN.
Namun, tidak ada persoalan berarti di masyarakat. Bukan karena masyarakat menerima dengan legawa THR yang besar bagi swasta dan BUMN, tapi karena masyarakat memang tidak mengetahui berapa besaran pasti dari THR mereka.Â
Kecemburuan sosial pada swasta atau BUMN tidak terjadi akibat ketidaktahuan masyarakat, karena pihak swasta dan BUMN tidak melakukan pengumuman secara luas dan terbuka tentang besaran THR mereka. Cukup kalangan mereka saja yang mengetahui besaran THR tersebut. Maka sangat wajar jika masyarakat tidak pernah meributkan THR swasta dan BUMN.