Suatu ketika Jono tampak sangat murung. Sangat jauh dari sifat kesehariannya yang riang dan kerap membuat lawakan-lawakan diantara teman-teman sekantornya. Banyak yang heran dan bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan Jono? Kenapa tiba-tiba berubah menjadi sosok yang pendiam, pemurung dan seolah-olah berusaha menjauhkan diri dari orang-orang?
Melalui sang istri, terkuaklah penyebab Jono berubah. Sang istri menceritakan bahwa beberapa waktu yang lalu, Jono didamprat habis-habisan oleh atasan di kantornya.Â
Jono dimarahi karena dianggap lalai dan kurang disiplin dalam bekerja, meski sang istri juga mengemukakan pembelaan untuk suaminya, bahwa sesekali memang Jono terlambat namun untuk urusan pekerjaan, Jono tak pernah menunda-nunda pekerjaan dan semuanya selesai dikerjakannya dengan sebaik-baiknya.Â
"Kalau memang keterlambatan Jono menjadi kesalahan fatal, kenapa tidak ada upaya pemanggilan atau peneguran secara jelas kepada Jono? Tanyakan kenapa alasan Jono terlamba? Â Berikan bimbingan supaya Jono tak lagi terlambat atau sekadar mengingatkan Jono untuk lebih disiplin. Sementara atasan Jono tak pernah melakukan hal itu. Yang ada setiap memanggil Jono ke ruangannya selalu marah, selalu membentak dan bersikap seolah-olah ia sedang berhadapan dengan musuh atau orang yang paling dibencinya..." demikian curhatan sang istri.Â
Atasan Jono memang terkenal pribadi yang perfeksionis sehingga terkesan kaku dan tak bisa rileks dalam memimpin. Tak jarang ia memarahi bawahannya dengan bahasa yang cukup tajam dan menyakitkan. Jono yang notabene baru empat bulan ditempatkan di kantor tersebut sepertinya merasa "kaget" dengan sikap atasan yang memarahinya.
Dampak dari semua itu, Jono perlahan namun pasti berubah. Bukan hanya di kantor, di rumah pun Jono berubah. Ia menjadi kurang peduli dengan keluarga. Lebih banyak mengurung diri di kamar. Pulang kerja, biasanya Jono bercengkerama dengan keluarga, kini malah memilih tidur. Jono juga menjadi lebih sensitif, mudah marah dan tersinggung. Jelas ini sangat memengaruhi keadaan rumah tangga. Rumah tangga menjadi hambar dan terasa kurang nyaman.
***
Belajar dari kasus Jono, ada begitu banyak pelajaran berharga yang bisa diambil. Bahwa, mengemban tugas sebagai seorang pemimpin atau atasan tidaklah mudah. Perlu adanya kecakapan dalam sebuah kepemimpinan, agar situasi di dalam kantor menjadi kondusif.
Arogan dan cenderung marah-marah bukanlah suatu solusi dalam menghadapi bawahan. Perlu diingat, bahwa yang dihadapi seorang atasan bukanlah sosok anak kecil yang segala sesuatunya didasari aturan baku.Â
Jika A maka harus A, jika B maka harus B. Tapi yang dihadapi adalah sosok dewasa yang arahannya semestinya lebih fleksibel. Arogan dan marah-marah pada bawahan hanya akan menciptakan jarak antara atasan dan bawahan.
Sebelum memarahi bawahan, hendaknya harus berpikir 10 kali bahkan 100 kali untuk melakukannya. Apa dampaknya bagi bawahan tersebut? Apa tujuannya? Apa output-nya? Tentu hal-hal mendasar tersebut harus betul-betul dipikirkan dengan baik.
Setiap orang memiliki kapasitas tingkat psikologis dan emosional yang berbeda-beda. Ada yang dimarahi sedikit sudah langsung down, ada yang dimarahi dengan keras tapi tidak berefek apapun. Ketahuilah, bahwa ada beberapa karakter pribadi yang "tidak mudah" menerima amarah. Mungkin salah satu contohnya adalah Jono atau bahkan mungkin kita?
Memikirkan ulang sebelum marah terutama pada efek setelahnya adalah hal yang sangat penting. Tidak sadarkah bahwa dengan marah-marah pada bawahan akan berdampak "lebih buruk" dari sekadar apa yang dibayangkan.Â
Bawahan jika seorang kepala rumah tangga, akan down. Jika sudah down maka akan berimbas pada hubungannya dengan keluarganya. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi keadaan anak dan istrinya. Nah, bisa dibayangkan, memarahi satu orang ternyata imbasnya dapat memengaruhi banyak orang!Â
Lantas, masih sanggupkah kita memarahi orang lain atau bawahan?
Bersikap arogan dengan marah-marah ternyata bukan salah satu solusi di dalam hubungan kerja. Harus disadari betul bahwa dalam satuan kerja, atasan dan bawahan merupakan satu tim bekerja yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sehingga menjaga keharmonisan didalamnya mutlak diperlukan agar tercipta kondisi kerja yang kondusif. Bahwa, yang dihadapi adalah manusia yang notabene berusia dewasa, tentu butuh kemampuan dalam menerapkan prinsip-prinsip yang bersifat andragogi, yaitu prinsip-prinsip yang didasarkan pada kemampuan memecahkan masalah secara "dewasa".Â
Keterbukaan, saling menghargai, saling mendukung, saling mengerti bagaimana memposisikan diri, saling memaafkan serta membangun komunikasi yang baik dan lancar adalah kunci dari hubungan andragogi. Sedikit mengkesampingkan ego demi terjalinnya hubungan dan kerjasama yang baik adalah salah satu prinsip utama kedewasaan, sebab bagaimanapun antara atasan dan bawahan haruslah tercipta sinergitas agar dapat tercapai visi dan misi dalam pekerjaan.
Namun, tidak dapat dimungkiri, setiap orang adalah pribadi yang berbeda-beda sehingga untuk menciptakan chemistry satu sama lain diperlukan kepekaan dan kepedulian yang bersifat humanis. Banyak yang dapat dilakukan, misalnya memberi ucapan selamat ulang tahun, menghadiri undangan bersama, mengadakan acara pengajian kantor, mentraktir makan siang atau sekadar mengucapkan terimakasih ketika sudah dibantu dalam suatu hal. Sederhana bukan? Â Apalagi dibandingkan harus mengedepankan ego dan menggunakan emosional ketika menghadapi bawahan.
Percayalah, loyalitas bawahan terhadap atasan sangat bergantung bagaimana atasan membentuk karakter kesetiaan itu sendiri. Bagaimana sikap bawahan adalah merupakan cerminan dari atasannya. Atasan yang baik, sabar dan hangat namun tetap tegas akan menghasilkan bawahan yang berkarakter loyal, sebaliknya atasan yang gemar marah-marah hanya akan menghasilkan bawahan yang bermental penakut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H