Mohon tunggu...
Fifin Nurdiyana
Fifin Nurdiyana Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS, Social Worker, Blogger and also a Mom

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Horor dan Misteri] Pulau Berhala

27 September 2016   01:42 Diperbarui: 27 September 2016   01:53 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pulau Berhala memang indah. Dikelilingi barisan bukit-bukit kecil berhasil menyatukan warna hijau pepohonan dan biru laut menjadi paduan pemandangan yang sangat eksotis. Semburat biru putih di langit semakin menambah mempesona pulau perawan di ujung terpencil ini.

Pulau Berhala ini masih perawan dan belum tersentuh oleh pemerintah daerah. Namun, kemolekannya tak menyurutkan para penggila traveling untuk menjadikan Pulau Berhala destinasi petualangan mereka.

Aku melompat menuruni perahu sampan yang disewa dari seorang nelayan setempat. Mataku berkeliling mengitari Pulau Berhala. Tak ada lagi yang bisa kuucapkan selain ungkapan kekaguman. Indah. Sangat indah.

“aduuuhh ngapain sih kita kesini ! emang gak ada lagi ya tempat wisata yang lebih oke dari ini ?!” cerocos Arel sambil mengibaskan rambutnya yang sedikit basah terkena cipratan air laut.

“lihat, hotel pun tak ada ! adduuuhh nanti malam pasti banyak nyamuk...kulitku bisa bentol-bentol merah nih !” Arel tak berhenti mengomel

Aku terkekeh, “udah deh Rel...nikmati aja...katanya mau jadi traveler sejati...ya harus tahan banting donk !”

“iiiihhh...nggak gini juga kaleee...” wajah Arel manyun cemberut

“hahaa...tenang aja Arel...kan ada akuuu..” Rudi menggamit lengan Arel

“iiihhhh najis ya Rud...ogaaahhh !” tolak Arel yang membuat kami semua terpingkal-pingkal

***

Matahari perlahan terbenam hingga tinggal menyisakan gelap. Pulau Berhala menjadi gulita. Yang terdengar hanya deburan ombak yang sesekali berbuih. Suara burung anoza yang melengking di malam hari menjadi musik alam yang merdu.

Pak Darwis sibuk menyalakan api unggun. Arel dan Rudi tampak duduk berimpitan di pasir putih. Edo memainkan gitarnya, menyanyikan lagu syahdu versi akustik. Gita dan Oka asik bercanda sambil menikmati secangkir cappucinno panas.

Aku memilih duduk menyendiri di tumpukan batu karang. Sedikit menjauh dari keriuhan mereka. Bagiku, menikmati kesendirian dengan hanya ditemani alam semesta adalah kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Kesempatan ini takkan kusia-siakan.

Mataku berkeliling. Menjelajahi Pulau Berhala dalam pandangan. Setitik cahaya terkadang muncul di antara bukit lalu menghilang. Mungkin bintang jatuh.

Angin yang berhembus terasa semakin kencang. Dingin dan menusuk tulang. Aku sedikit menggigil.

Sreeekkk...sreeekkkk....

Tiba-tiba terdengar suara dari dalam hutan Pulau Berhala yang ada di belakangku. Seperti suara langkah kaki yang diseret.

Aku menoleh. Sepi. Gelap. Dan hanya dedaunan yang bergerak-gerak tertiup angin. Mungkin binatang.

Sreeekkk....sreeekkkkk....sreeekkkkk....hhh...hhhh...

Suara itu kembali terdengar. Malah semakin jelas. Kali ini bukan hanya suara seperti kaki diseret tapi juga suara desah nafas yang berat.

Aku menoleh. Tetap tak terlihat apapun.

Namun bulu kudukku berdiri. Aku merinding. Tengkuk yang sudah kubalut dengan slayer tebal tiba-tiba terasa dingin.

Ah ! aku memutuskan untuk bergegas pergi dan bergabung dengan teman-teman lainnya di dekat api unggun.

“mau tau nggak cerita legenda di balik Pulau Berhala ini ?” tanya pak Darwis begitu kami semua berkumpul mengelilingi api unggun

“cerita apa pak Darwis ?” tanya Edo

“iiihhhh...jangan cerita serem yaaa pak...takuutttt...” Arel merajuk

Pak Darwis tergelak, “jadi...mau diceritain nggak nih ?”

“mau mau mauuuu...!” Gita bersemangat

“jadi...dulu Pulau Berhala ini adalah tempat pembuangan penduduk kota yang terkena virus penyakit aneh. Berbahaya dan menular....” pak Darwis memulai bercerita

Arel merapat ke Rudi. Takut.

“kenapa mereka dibuang pak ?” tanya Oka

“karena pada masa itu pemerintah kota ini sudah bangkrut. Tidak ada lagi dana untuk menyediakan obat-obatan. Sementara virus menyebar sangat cepat. Hampir semua penduduk terjangkit. Akhirnya, agar tidak terus meluas, pemerintah membuang mereka yang terjangkit virus ke pulau ini. Mereka dibiarkan mati dengan sendirinya karena virus dan kelaparan...”

“karena tak ada makanan itu lah, mereka saling menyerang satu sama lain...mereka saling memangsa...memakan daging mentah...menggerogoti tulang-tulang...meminum darah segar...dan konon mereka juga memakan tubuhnya sendiri....menggigit tangannya...kakinya hingga putus dan jalannya terseret-seret...”

“ah mitos itu kan Pak ? sekadar legenda kan ?!” sanggah Arel begidik

“mitos atau bukan...yang jelas kisahnya ada di buku tua legenda pulau Berhala...sekarang tersimpan di museum milik ahli sejarawan Agena Suratmi...” papar Pak Darwis serius

“jadi, kemana mereka sekarang ?” tanya Rudi

Gita memukul lengan Rudi, “Ya pasti udah jadi tanah lah Rud...ini kan terjadi beratus tahun lalu !”

Rudi terkekeh, “yaaa siapa tahu...masih ada yang hidup...”

“Rudiiiiiiiiii !!!!” teriak Arel sambil mencubit lengan Rudi. Lagi-lagi Rudi tertawa.

Aku terhenyak. Tiba-tiba teringat akan suara tadi. Suara itu mirip suara langkah kaki yang diseret.  Sreeek...sreeekkk...

Ah ! jangan-jangan betul apa yang dikatakan Rudi. Mereka masih ada yang hidup ! tapi, mana mungkin ? bukankah kisah pulau Berhala ini sudah berumur ratusan tahun lalu ?! tiba-tiba aku merinding.

“ya sudahlah...sekarang waktunya kita istirahat. Besok pagi kita akan menjelajah ke hutan pulau Berhala ya ! nanti kita akan menuju ke air terjun yang sangat indah...perjalanan sekitar satu jam...jadi siapkan tenaga kalian untuk besok, oke !” pak Darwis membubarkan acara api unggun

Kami pun beranjak dan masuk ke tenda masing-masing. Pun dengan aku yang masih penasaran dengan suara aneh tadi.

***

Pagi menyambut kami dengan hangat. Langit nampak cerah. Gelombang laut hanya sebatas riak-riak. Burung-burung beterbangan sambil sesekali bersiul. Mentari keluar dari peraduan dengan cantiknya. Sungguh pagi yang indah di pulau Berhala. Menambah semangat untuk bergegas menjelajah hutan menuju air terjun. Sudah terbayang keindahan air terjun itu. Rasa lelah berjalan selama satu jam pasti akan terbayar dengan menikmati jernihnya air terjun pulau Berhala.

“Oke, pagi ini cuaca cukup bersahabat...kalian siap untuk trekking menjelajah hutan ?!” teriak pak Darwis ketika memberikan briefing.

“siaaappp !!!” jawab kami serempak

“kita jalan beriringan ya...jangan sampai lepas...karena ini hutan...akan sangat berbahaya jika sampai tersesat...” nasehat pak Darwis

Kami pun saling bergandengan. Berjalan beriringan.

Trek yang dilalui tak terlalu berat. Namun harus diakui, aura mistis sangat jelas terasa begitu memasuki kawasan hutan. Indahnya pulau Berhala seketika berubah menjadi angker.

Entah kenapa, sejak masuk hutan bulu kudukku tak henti berdiri. Aku juga kerap menangkap sekelebat bayangan. Seperti sosok manusia. Bahkan aku juga merasakan ada puluhan pasang mata yang sedang mengintip kami dari balik pepohonan.

Semakin ke tengah hutan, semakin jelas bayangan itu.

Sreeekkk....sreeeekkkk....

Sontak aku menarik lengan Arel yang kebetulan berada di depanku dan bersembunyi di balik pohon besar. Sementara rombongan teman-teman lainnya tetap berjalan menyusuri hutan.

Arel hendak menjerit namun segera kututup bibirnya dengan telunjukku. Isyarat agar ia diam.

“ssstttt...ada yang tidak beres di pulau ini Rel...” kataku lirih

“ada apa Jill ? aku takuuuttt...” wajah Arel memerah ketakutan

“sejak semalam aku mendengar suara aneh...seperti langkah kaki yang sedang diseret...dan barusan aku mendengarnya lagi...” jelasku

Arel menutup wajahnya, “jadi itu suara apa Jiiiilll ?”

Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba terdengar suara jeritan bersahut-sahutan.

“aaaaaaahhhhh...siapa kaliaaannn ?! jangaaannn...jangaaannn...jangan ganggu kamiiii !!!”

“aaaahhhhh...pergiiii kaliaaannnn !!!”

Aku dan Arel mengintip perlahan. Kami melihat di kejauhan pak Darwis, Edo, Rudi dan Gita sedang dikepung oleh beberapa makhluk seperti manusia namun berupa sangat mengerikan. Wajah mereka hancur berlumuran darah dan nanah. Baunya sangat menusuk hidung. Kaki mereka buntung dengan luka yang menganga. Belatung tampak bergelantungan di sekujur tubuh mereka.

“makhluk apa itu Jill...Oh Tuhan...apa itu bagian dari legenda pulau Berhala yang masih hidup ?”

Aku menggeleng, “aku nggak tau Rel...mungkin saja...”

Mereka berjalan terseret-seret mendekati rombongan teman kami. Dengan liur yang terus menetes mereka mencoba memangsa pak Darwis, Edo, Rudi dan Gita yang tak bisa berkutik.

Kreeekkk Krasssss...aaaahhhhhhh !!!

Aaaahhh tolooooonggg...!!! kraaaassssss !!!

Jeritan mereka bersahut-sahutan hingga sesaat kemudian senyap. Tak ada suara selain suara makhluk pulau Berhala yang memburu.

Perlahan namun pasti, dengan buasnya mereka menerkam teman-teman kami satu persatu. Merobek isi perut, mematahkan tulang-tulang, memakan daging dan meminum darah segar. Tidak puas, mereka juga mencungkil bola mata dan mengunyahnya begitu saja.

Keringat dingin mengucur deras di tubuhku. Menyadari bahwa aku dan Arel akan segera menjadi korban berikutnya.

Arel memelukku erat sambil menangis sangat ketakutan, “Jiiiilll...apa yang harus kita lakukan ?!”

Aku mendekapnya, “tak ada lagi yang bisa dilakukan selain berdoa pada Tuhan...”

***

Fiksiana Community
Fiksiana Community

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun