Matahari menyengat hingga ubun-ubun. Kawasan TPA dengan pemandangan sampah menggunung tak menyurutkan langkah perempuan itu untuk terus menyusuri kampung sampah Codet. Pijakan kakinya menyisakan jejak, menandakan langkahnya pasti dan penuh keyakinan.
Beberapa pasang mata hanya bisa memandang heran kehadirannya. Anak-anak kecil berlarian tanpa alas kaki. Kulitnya legam terbakar matahari. Perutnya membusung. Tapi teriakan girang mereka tak mengisyaratkan mereka berada dalam kehidupan yang kurang beruntung. Anak-anak itu tetap ceria bermain dengan botol-botol plastik sisa minuman yang banyak berserakan di sekitar gunungan sampah.
Perempuan itu tergelak saat salah satu anak kampung codet tak sengaja menginjak kakinya yang beralaskan sepatu kets. Baginya, injakan itu adalah salam perkenalan antara dirinya dengan penduduk kampung codet.
“hei, siapa namamu ?” tanya perempuan itu dengan sedikit membungkukkan badannya pada anak kecil yang menginjak kakinya
Anak kecil itu menatap dengan penuh keraguan, “Dewi tante...”
Perempuan itu tersenyum, “nama yang bagus...”
Dewi tersenyum lega, perempuan itu tak memarahinya.
“mana sandalmu ? knapa bermain di tempat kotor begini tak memakai sandal ?”
“kalau memakai sandal aku pasti kalah berlari sama Husen, Wira dan Nita tante...”
Perempuan itu mengernyitkan dahi, “kok bisa ?”
“memakai sandal disini licin tante...aku jadi nggak bisa lari kencang...” jelasnya polos